Selasa, 03 Juli 2012

Pandangan yang mengharamkan Musik

MUSIK DIANGGAP HARAM


Musik  menimbulkan suatu kontroversi dalam masyarakat islam. Dimana beberapa ulama mengharamkan adanya musik dengan bersandar pada dalil nash dan sunnah.
A.    Dalil yang mengharamkan musik
1.      Dari Abu Umamah r.a dia berkata tidak halal para penyanyi atau membeli mereka, atau memperdagangkan mereka. Hasil jual beli mereka adalah haram. Kemudian beliau melanjutkan, itulah yang menjadi sebab diturunkannya QS. Luqman: 6         
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.”
Abdullah bin Mas’ud berkata menafsirkan ‘perkataan yang tidak berguna’, “Dia -demi Allah- adalah nyanyian.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Itu adalah nyanyian, demin yang tidak ada sembahan yang berhak selain-Nya,” beliau mengulanginya sebanyak 3 kali.
Ini juga merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah dari kalangan sahabat. Dan dari kalangan tabi’in: Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, Al-Hasan Al-Bashri, dan selainnya. (Lihat selengkapnya dalam Tafsir Ibnu Katsir: 3/460)
      Hadits ini tergolong sohih. Nyanyian dapat melenakkan hati sehingga tak mampu taat dan berdzikir kepada Allah. Itu hal yang sudah terbukti. Oleh karena itu Ibnul Qayyim r.a menyatakan “Apabila hal itu sudah dapat dipahami, maka para penyanyi dan orang-orang yang mendengarkannya memiliki kans yang sama dalam mendapatkan celaan itu sesuai kadar kesiibukan mereka mendengarkan nyanyian tersebut sehingga lalai mendengarkan Al-Qur’an.[1]
2.      Hadits dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asya’ri r.a Bhwa Rasulullah SAW bersabda;
Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa dia mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعازِفَ
“Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)
Kalimat ‘akan menghalalkan’ menunjukkan bahwa keempat hal ini asalnya adalah haram, lalu mereka menghalalkannya.
Lihat pembahasan lengkap mengenai keshahihan hadits ini serta sanggahan bagi mereka yang menyatakannya sebagai hadits yang lemah, di dalam kitab Fath Al-Bari: 10/52 karya Al-Hafizh dan kitab Tahrim Alat Ath-Tharb karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.[2]
Hadits ini adalah hadits yang shohih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata” yang mengesankan ada keterputusan sanad beliau dengan Hisyam, dan tidak mengatakan dengan tegas misalnya “telah mengabarkan kepadaku Hisyam”, tidaklah memudarkan keshahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari ra. Tidak diikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga hadits ini dihukumi bersambung sanadnya. [3]
3.      Firman Allah dalam Qs. An-Najm: 59-61

 “Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)
Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah: Ibnu Abbas Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain-main. Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa penduduk Himyar).”  (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)[4]
4.      Firman Allah kepada Iblis:
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal tersebut adalah:
Mujahid t. beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)[5]

B.     Dalil yang memperbolehkan musik
            Dari beberapa dalil yang mengharamkan musik tersebut ternyata ada juga nash-nash yang memperbolehkan Musik.
1.      Para pembela lagu dan musik menyandarkan  pendapatnya dengan menggunakan hadits “Allah akan lebih senang mendengarkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara baik dari pada pemilik budak wanita (yang mendengarkan) budaknya (bernyanyi). Para penyanjung mesik menyatakan “tidak ada nash yang shahih dan tegas yang melarang memainkan piano dan alat-alat musik lainnya”
2.      Imam yang lima, kecuali Abu Dawud meriwayatkan pernyataan Rasulullah SAW: “Pembeda antara yang halal dan yang Haram dadalah rebana dan suara di dalam pernikahan”. Yang maksudnya lagu dan rebana diperbolehkan dalam pesta pernikahan.
3.      Ibnu Majah meriwayatkan pernyataan Rasulullah SAW: “umumkanlah pernikahan dan tabuhlah untuknya genderang” (HR. Ibnu Majah)[6]
4.      Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Nafi, mantan budak Ibnu Umar ‘Aku pernah mendengan Rasulullah mendengar seruling gembala, lalu  beliau melakukan seperti yang aku lakukan tadi.
5.      Dari Aisyah r.a menuturkan Rasulullah SAW pernah menemuiku dirumah. Kala itu dirumah terdapat dua orang anak perempuan kecil (dari kalangan wanita Ansor), dalam riwayat lain (dua orang penyanyi wanita ) pada hari Mina, mereka berdua memukul-mukul rebana sambil bernyanyi dengan nyanyian (dalam riwayat lain: dengan ucapan – ucapan yang dilontarkan oleh, dalam riwayat lain: “kecaman-kecaman yang dilontarkan oleh”,) orang-orang Ansor pada hari peperangan Bu’ats (padahal keduanya adalah penyanyi). Masuklah Abu Bakar (sementara nabi SAW menyelimuti tubuh beliau sendiri dengan bajunya). Tiba-tiba Abu Bakar membentakku(dalam satu riwayat, ia membentakkan keduanya) dan berkata, “seruling syetan(dalam riwayat lain, apakah pantas seruling syetan ditiup di rumah Rasulullah SAW (sebanyak dua kali)”
Rasulullah SAW langsung menghadap kami (dalam riwayat lain: langsung menyingkap wajahnya) dan bersabda, biarkan mereka berdua, wahai Abu Bakar! (karena) masing-masing kaum memiliki Hari Raya, dan ini adalah hari Raya mereka.”[7]

Ibn-ul-'Arabi berkata: "Jika nyanyian itu haram, tentu di rumah Rasulullah s.a.w. tidak akan ada sama sekali hal tersebut. Tetapi alasan yang diberikan beliau (Nabi s.a.w.) untuk membolehkannya adalah karena nyanyian itu dilakukan pada hari raya, yang hal tersebut menunjukkan bahwa bila nyanyian itu dilakukan secara terus-menerus, maka hukumnya makruh. Sedangkan rukhshah (keringanan) untuk melakukannya terbatas pada saat-saat tertentu seperti hari raya, perkawinan, pulangnya seseorang kekampung halamannya, dan sebagainya. Berkumpulnya orang-orang (dalam acara tersebut) biasanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang sejak lama tidak bertemu atau berkumpul, baik berkumpulnya kalangan kaum wanita maupun pria. Jadi, setiap Hadits yang diriwayatkan maupun ayat dipergunakan untuk menunjukkan keharaman nyanyian merupakan pendapat yang bathil atau tidak benar dari segi sanad dan ijtihad, baik bertolak dari nash maupun suatu takwilan."[8]
Jenis lagu-lagu mars atau heroic, para ulamapun tidak mengharamkannya. Bahkan kebanyakan lagu-lagu tersebutmembangkitkan semangat beragama, makna keimanan serta nilai-nilai ruhiyah seperti mengesakan Allah, berdzikir dan berdo'a kepadanya, atau bersholawat pada Nabi SAW, dan yang serupa lainnya. [9]

So, Bagaimana Seharusnya? 
Musik, hampir semua orang di dunia ini suka akan musik. Karena musik merupakan bagian dari seni yang memberikan ketenangan dan kebahagiaan tersendiri. Musik dan lagu merupakan bahasa jiwa yang diekspresikan lewat lirik-lirik lagu dan aransement musiknya. Cerita kehidupan pun mengalir lewat musik tersebut karena lagu-lagu yang diperdendangkan memuat beragam kondisi hati pencipta sebuah karya seni music dan lagu. Maka ada lagu yang memuat syair percintaan, kasmaran, patah hati, kepahlawanan, ketokohan, kritik social, syair bertemakan kecintaan kepada Tuhan, religi, anak-anak, lagu-lagu permainan, dsb.
Selain itu banyak variasi dan jenis musik tertentu yang dapat dinikmati oleh semua segi usia. Akan tetapi ternyata terdapat banyak dalil yang mengharamkan musik, yang belum diketahui secara pasti. Sehingga sampai saat ini masih terdapat beberapa pihak yang sangat fanatik mengharamkan musik.
Memang musik pada awalnya dinilai haram dikarenakan banyak kemudharatan yang muncul dari padanya. Yang membuat orang cenderung lalai, kesia-siaan dan mempengaruhi munculnnya tindakan yang dilarang agama dan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Meskipun banyak dalil yang menunjukkan pengharaman musik, namun tidak ditemukan dalil yang secara eksplisit dan tegas menyebutkan kata “haram” atau “dilarang”.  Sesuatu yang diharamkan biasanya karena banyak sisi mudharatnya dibandingkan dengan sisi manfaatnya. Musik pada hakekatnya bisa menjadi sesuatu yang dihalalkan tergantung situasi dan kondisi yang memungkinkan. Sebagaimana dengan sebuah hukum tentang musik.
Melihat beberapa sisi negatif yang di timbulkan dari adanya musik menjadikannya sesuatu yang diharamkan. Apalagi sebagai media dakwah, hingga Gusdur menyebutkannya bahwa tidak ada pintu dakwah lewat musik. Sesungguhnya banyak hal positif yang merupakan kelebihan musik  itu sendiri yang menjadikannya sesuatu yang diperbolehkan. Bahkan dapat digunakan sebagai media berdakwah. Sebagaimana yang dilakukan Rhoma Irama meskipun tidak ada pintu dakwah lewat musik, tetapi ada celah dan sangat sempit sekali yang dapat diselipi dengan syiar Islam.
Jika seseorang yang memainkan, mendengarkan dan menyanyikan musik tersebut menyebabkannya lalai akan kewajibannya terhadap Allah bahkan cenderung menyebabkan timbulnya sesuatu yang dilarang oleh Allah maka musik menjadi sesuatu yang membawa laknat dan dihukumi haram. Namun jika seseorang yang memainkan, mendengarkan dan menyanyikan musik tersebut dapat tetap menjalankan ajaran Agama Islam bahkan dapat memanfaatkannya sebagai media dakwah maka music tersebut menjadi suatu anugerah yang membawa kebaikan.
Sebenarnya musik dan lagu merupakan sebuah alat maupun sarana. Manusialah yang menggunakannya, mau dibawa kemana musik tersebut tergantung manusianya sendiri, apalagi segala sesuatu itu tergantung niatnya (إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوى) (متفق عليه)
"Sesungguhnya amal perbuatan (manusia) itu tergantung niatnya. Bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya...."
           
Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang Promaupun yang kontra masing-masing menggunakan dalil. Di dalam sebuah musik yang terdapat lagu, lirik dan aransemennya mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan bila dijadikan sarana dakwah. Namun terlepas dari kontroversi perdebatan perdebatan tentang musik, musik dapat di gunakan sebagai sarana atau media berdakwah.
Sebagaimana beberapa pihak ada yang setuju dan menolak musik sebagai media dakwah, dengan menimbang nash-nash tentang keharaman musik. Sehingga muncul istilah “tidak ada pintu dakwah lewat musik”. Akan tetapi masih ada celah dan sempit sekali dari musik tersebut. Dimana celah yang sempit itulah yang disisipkan dengan nilai-nilai keislaman dan pesan-pesan dakwah.
Terbukti banyak Da’i yang memanfaatkannya sebagai selipan ketika menyampaikan materi dakwah dalam beberapa pengajian. Dengan harapan mad’u akan lebih tertarik dan materi dakwahnya lebih mengena. Musik sebagai media dakwah dapat tercapai manakala semua unsur yang terlibat didalam proses pembuatan, semua pihak yang berkecimpung didalamnya,  penampilan/performers dari pembawa musik tersebut dan penikmat musiknya dalam proses berjalannya musik tersebut kepada audien sesuai dengan nilai-nilai keislaman.



Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. 2002. Siapa Bilang Musik Haram. Jakarta: Daarul Haq.
http://al-atsariyyah.com/haramnya-nyanyian-dan-alat-musik.html
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi. 1994. Haramkah Musik dan Lagu. Jakarta: CV. Cakrawala Persada
http://seni.musikdebu.com/babVII.htm
Yusuf Al-Qardlawi. 2001. Nasyid Versus Musik Jahiliyah. Kairo: Mujahid Press, Tim Penerbit LESPISI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar