Minggu, 29 Januari 2012

OVJ dan Hukum Etika Media Massa

                   

Televisi merupakan salah satu media penyiaran elektronik yang dapat ditangkap secara audio visual oleh khalayak. Fungsi televisi sebagai media informasi, edukasi, hiburan dan pembinaan kebudayaan direalisasikan dalam program-program acara seperti news, talkshow, reality show, film, sinetron, infotainment, religi, comedy, dsb,.  acara hiburan, seperti komedi. Fungsi televisi sebagai media hiburan menduduki posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain. Karena, televisi termasuk media massa yang murah, banyak pilihan dan berlangsung setiap hari selama 24 jam non stop. Hiburan yang disajikan bertujuan untuk menghibur audien melepaskan segala kepenatan dan stress seperti halnya menjadi sarana relaksasi.

Media massa televisi saat ini terjebak dalam mindstream latah yang berkembang dimasyarakat, namun sepertinya media televisi merasa lebih aman ketika menjual mindstream dari pada bersusah-susah melakukan uji coba terhadap acara-acara baru (Bungin, 2005: 174).

Ketika Indosiar sukses menayangkan Akademi Fantasi Indosiar (AFI), maka bermunculanlah acara pencarian bakat serupa di berbagai stasiun televisi lainnya. Juga ketika tayangan gosip cek & ricek dan Kabar kabari berhasil di RCTI, televisi lainnya pun ikut-ikutan menayangkan gosip. Komedi Extravaganza yang sukses di Trans TV, kemudian juga memunculkan acara komedi lainnya dari Stasiun Televisi lain Seperti Opera Van Java, Pas Mantab, dll. Tayangan komedi berseri seperti Abdel Temon diikuti oleh  acara Awas ada Sule, Kanjeng Mami, Sketsa, dll. Khalayak dieksploitasi dan respons kesenangannya diburu lantaran perolehan komersial. Namun, kesenangannya ini tidak sepenuhnya bisa diprediksi.

Komedi merupakan salah satu jenis berhumor yang kini banyak ditampilkan dalam sebuah tayangan televisi. Bahkan tayangan hiburan yang bertujuan mengundang gelak tawa pemirsanya ini kian menjamur dan menjadi program unggulan stasiun televisi. Dengan berbagai cara, para pelawaknya melakukan hal-hal bodoh entah dari tingkahnya ataupun dialognya, yang jelas harus lucu dan membuat orang lain tertawa.

Sebagaimana salah satu program acara komedi Opera Van Java (OVJ) merupakan tayangan komedi yang berhasil membuat sebagian besar penontonnya setia menonton tayangan ini. Lawakan yang mereka sajikan pun menjadi khas dengan unsur kekerasan di dalamnya. Aksi pemukulan, saling ejek, dan berbagai kekerasan lain mereka gunakan untuk menciptakan lawakan yang menghibur. Aksi kekerasan yang dimunculkan dalam bentuk humor tentunya dapat berpengaruh terhadap audien. Terutama anak-anak. Apalagi program OVJ ditayangkan pada waktu primetime, yang dapat disaksikan oleh segala umur termasuk anak-anak.

Masyarakat tentunya tidak mau terjadinya pengulangan sama yang mana tayangan yang mengandung unsur kekerasan dapat menimbulkan korban dari kalangan anak-anak. Sebagaimana yang dialami Reza yang berusia 10 tahun dari Bandung dan Rizky (usia 5 tahun) dari jakarta adalah korban yang meninggal setelah ‘dismack down’ rekannya yang lebih besar. Mengingat dampak negatif ini, maka tayangan Smack Down dihentikan oleh Lativi setelah mendapat intervensi dari KPI (Solihati,2007: 133).

Sama halnya komedi Opera Van Java (OVJ) Menurut Riyanto, KPI juga menerima 56 laporan atas tayangan komedi 'OVJ', karena dinilai tidak mendidik, pelecehan, dan kekerasan (www.kpi.go.id). Comedi merupakan acara yang menghibur dan cukup dinikmati pemirsa televisi dengan berbagai variasi yang terdapat didalamnya.

Akan tetapi menurut Solihati (2007: 133) format hiburan tersebut ada hal yang cukup memprihatinkan dimana dengan meleditimasi unsur “kelucuan” maka seolah olah oleh para pelawak tidak lagi memperhatikan lagi unsur etika. Dalam memainkan peran sebagai pelawak, seringkali banyak menuntut “pemakluman” dari fihak lain sehingga wacana kekerasan fisik dan verbal juga harus menjadi bagian dari pemakluman tersebut.

Kekerasan fisik juga sering menjadi arena pemakluman publik ketika dijadikan sebagai materi lawak Melalui dialog yang  dianggap lucu ini, seringkali secara sosial menjadi tidak lucu karena ada unsur menyakiti dan melecehkan orang lain (Ibrahim, 2004 : xxvi).

Masyarakat hanya memandang bahwa acara komedi tersebut hanyalah sebagai bentuk hiburan semata. Asal dapat membuat tertawa, menghilangkan beban fikiran dan menciptakan kesenangan tersendiri. Maka program acara tersebut akan terus diminati oleh pemirsa tanpa memperdulikan efek yang ditimbulkannya. Dari pihak pengelola program acara ditelevisi dimana ada unsur komersial dalam pengelolaan. Ketika program acara terus diminati dan ratingnya naik pasti akan terus dijalankan. Sehingga tidak sedikit terdapat program acara yang bertentangan dengan Pedonam Perilaku Siaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang terkandung hukum dan etika media massa.

Sebagai media populer, banyak pihak yang memperbincangkan masalah televisi tersebut. Sebagaimana comedi OVJ, di satu pihak memandangnya sebagai acara hiburan yang menimbulkan kesenangan bagi penonton, akan tetapi dipihak lain memandangnya banyak terdapat pelanggaran. 

Oleh karena itu dalam karya tulis ini penulis mengangkat tentang studi kritisisme terhadap acara komedi Opera Van Java (OVJ) di televisi Perspektif Hukum dan Etika Media Massa yang masih menimbulkan perdebatan antara pro dan kontra terhadap sajian acara tersebut.

                 Etika Media Massa

Ketika media massa berada dalam konteks sosial dan dikonsumsi oleh khalayak maka pada saat itu media massa berhadapan dengan masalah etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media massa pada dasarnya tidak bebas nilai. Seluruh proses produksi, distribusi dan konsumsi pesan komunikasi merupakan hasil interaksi para pelaku, konsumen dan distributor komunikasi. Interaksi inilah yang mau tidak mau menempatkan proses komunikasi dalam kerangka tindakan manusia. Mana tindakan yang baik, mana tindakan yang buruk. Itulah point utama dari masalah etika.

                  Sebagaimana dalam (www.wikipedia.org/wiki/Hukum_dan_etika ediakomunikasi.id), Etika adalah pedoman atau aturan moral untuk situasi-situasi dimana media memiliki efek negatif dan hukum tidak bisa menjaga tingkah laku. Kode etik kebanyakan diciptakan oleh organisasi profesional. Etika adalah peraturan moral yang menuntun tingkah laku seseorang. Para pendidik yang memainkan peran yang penting dalam menerapkan etika. Etika merupakan komponen yang penting dalam pendidikan jurnalisme. Di dalam jurnalisme terdapat beberapa etika yang harus dipatuhi yaitu akurasi, keadilan, kerahasiaan, privasi.

Komedi ditelevisi merupakan program acara hiburan yang eberadaannya yang cukup menarik hati pemirsanya.  Sehingga ratingnya terus naik. Akan tetapi didalam muatan acara yang disajikan juga menuntut untuk dikritisi karena bertentangan dengan etika yangada dimasyarakat.

Menurut (Straubbar, J: 2006), Etika dunia hiburan mempunyai beberapa isu pokok, yaitu: pertama, siapa yang bertanggung jawab terhadap efek media. Dunia hiburan mempunyai nilai-nilai anti sosial yang bisa dikembangkan oleh masyarakat. Padahal di satu sisi, media hiburan menempatkan diri sebagai reflektor kehidupan masyarakat. Isu kedua adalah isu payola. Payola adalah proses penyisipan pesan-pesan anti sosial dalam media hiburan yang dikonsumsi oleh khalayak. (http://ekawenats.blogspot.com).

             Konten isi inilah yang menjadi sorotan banyak pihak. Terutama lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semua media massa elektronik dalam pembahasan ini terkhusus pada televisi dengan program Acara Komedi Opera Van Java (OVJ) juga harus mengikutipola hukum dan etika media massa. Sebagai salah satu media penyiaran, maka Pedoman Perilaku Siaran (P3), Standar Program Siaran (SPS) dan Undang-undang tentang Penyiaran juga harus dipenuhi.

             Sebagaimana pedoman perilaku Penyiaran adalah ketentuan –ketentuan bagi lembaga Penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia untuk menjadi panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam menyelenggarakan penyiaran dan mengawasi sistem penyiaran Republik Indonesia.

 

Bentuk pelanggaran Perspektif Hukum dan Etika Media Massa

Dibalik kesuksesan yang ditampilkan oleh Opera Van Java (OVJ) Terdapat berbagai persoalan yang patut mendapat perhatian dari masyarakat. Menurut Riyanto, KPI juga menerima 56 laporan atas tayangan komedi 'OVJ', karena dinilai tidak mendidik, pelecehan, dan kekerasan (www.kpi.go.id). Dimana pelanggaran-pelanggaran yang terdapat dalam tayangan Opera Van Java antara lain:

a.       Kekerasan

-            Hukum yang dilanggar tertuang dalam UU RI No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat 5 huruf b. yang berbunyi “Isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau

-            Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  Nomor 02/P/KPI/12/2009  tentang Pedoman Perilaku Penyiaran   pasal 26  ayat 1 yang berbunyi” program siaran  dilarang membenarkan kekerasan dan sadisme sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari”

Sebagai contoh dalam setiap episode para pelawak mendorong pemain lain sampai jatuh, memukul, melempar dan menendang orang/lawan main dengan proferty yang ada di panggung. Walaupun property tersebut dari styrofoam dan tidak akan melukai lawan mainnya, tetapi tetap saja esensinya adalah memukul dengan benda keras. kerena benda tersebut memang di bentuk menyerupai aslinya seperti meja, kursi, pohon dan sebagainya.  

Bahkan seperti dalam beberapa episode yang berjudul “Kuch Kuch Mata Keranjang”  pemain menendang koper yang merupakan barang asli bukan sterofoam. Kemudian pada episode yang berjudul “Koboi Jagoan” terdapat pelemparan mainan pistol-pistolan, melempar pepatu, dan kemudian menendang lawan main.

 

b.      Pelecehan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu

-             Hukum yang dilanggar tertuang dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)    Nomor 02/P/KPI/12/2009  tentang Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 15 ayat 1 huruf a,b dan ayat 2 huruf b.

-            Pasal 15, ayat 1 huruf a dan b, yang berbunyi “Program siaran tidak boleh melecehkan, menghina, atau merendahkan kelompok masyarakat minoritas dan marginal, seperti

 a. Kelompok dengan pekerjaan tertentu, seperti : pekerja rumah tangga, hansip, atau satpam;

b. kelompok yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, seperti waria, laki-laki yang keperempuan-perempuanan, atau perempuan yang kelaki-lakian;”

-       Pasal 15 ayat 2 huruf b yang berbunyi: “menjadikan kelompok-kelompok tertentu sebagai bahan olok-olok atau tertawaan; dan/atau”      

Sebagai contoh dalam episode tentang Roro Jongrang, si dayangnya roro jongrang mengelap mukanya dengan kain keset/ kain lap. Selain itu adanya kata-kata “pesek”, “pendek buntek”,  wajah disemprot dengan air busa, wajah disemprot dengan air kumur dari mulut. Contoh lainnya Azis Gagap sesuai nama panggungnya merupakan seorang penderita gagap. Gagap merupakan penyakit bawaan di mana seseorang tidak dapat berkomunikasi dengan baik karena kesulitan dalam mengartikulasikan kata.

 

c.       Kata-kata Kasar dan Makian

       Hukum yang dilanggar tertuang dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)    Nomor 02/P/KPI/12/2009 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 27 ayat 4 a yang berbunyi “ Kata-kata kasar ataupun umpatan, seperti : anjing, babi, monyet, bajingan, goblok, tolol, dungu, brengsek atau kata lain yang mempunyai makna yang sama”. Walaupun saat ini sudah terdapat penbyensoran untuk kata-kata kasar. Akan tetapi, sempat tidak terhindarkan dalam acara live.

 

d.      Mistik dan Supranatural

        Hukum yang dilanggar tertuang dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)    Nomor 02/P/KPI/12/2009 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 35 yang berbunyi “program siaran dilarang menampilkan mistik dan supranatural dengan manipulasi gambar, suara, ataupun audiovisual tambahan untuk tujuan mendramatisasi isi siaran yang menimbulkan interpretasi yang salah.

      Misalnya pada beberapa tayangan menampilkan drama komedi yang bersifat mistis seperti tayangan yang berjudul “Si Buta dari Gua Hantu, Cah Kangkung Nyari Duit, Kisah Nyi Pelet, dsb.  Dalam penataan panggung, pencahayaan lampu dan manipulasi suara yang digunakan terkesan seram walaupun itu merupakan cerita komedi.

 

e.       Minim Pesan Moral

      Sebagian besar materi lawakan yang dikemas pada acara ini hanya sekedar memaksa orang untuk tertawa tanpa ada niatan untuk memberikan pesan moral untuk pemirsa. Padahal materi cerita yang sebagian besar diambil dari legenda dan cerita daerah selalu mempunyai pesan moral  kepada pemirsa.



 

Selasa, 24 Januari 2012

Sayap-Sayap Seribu

Aku anak Indonesia,
Negeri Seribu pulau,
Aku lahir bagai angin,
Membuai diterpa sang bayu.

Tapi, aku lahir bagai lintah,
Menggeliat lekat dilereng sunyi & senyap,
Aku lahir bagai batu,
Keras terpatri kokoh didinding Kemegahan.

Matahari merah tergantung dipuncak gunung,
Berapi-api menyambar gedung-gedung pencakar langit,
Mendaki tapak demi tapak jalan berliku,
Mengikis tebing-tebing Kekuasaan.

Relakah daku akan kenistaan,
Membabat smua harapan sang bintang,
Remuk, Hancur!!! Terseok-seok padu,
Dalam sanubari.

Wahai kawan,
Ikatkanlah serabut-serabut nan kecil ,
Dalam lembaran kain abadi,
Merajut smua mimpi Insan,
Melambung diatas awan,
Pertiwi yang tercinta.

Kucoba Kembangkan sayap-sayap sampai ke bulan,
Memancarkan Indahnya Sinar-Mu yg Agung,
Akan perjuangan anak bangsa,

Tak gentar membela,
Berlari dilorong panjang tak berujung,
Mengobarkan semangat seribu Pulau,
Menyelami dalamnya samudra lewat karya seribu pena.

Sebelum Ajal berpantang mati,
Bunda tak pernah bosan,
Akan bahtera abadi,
Berlinang air kehidupan.

Minggu, 22 Januari 2012

Analisis Kelebihan dan Kekurangan Tradisi Grebeg Besar Demak Perspektif Metodologi Dakwah

Grebeg Demak merupakan acara budaya tradisional Masyarakat Demak. Kegiatan tersebut sebagai bentuk tradisi pelestarian budaya leluhur. Dimana pada waktu itu masyarakat masih didominasi oleh kebudayaan Hindu dan Budha. Kemudian datang walisongo yang menyebarkan agama Islam lewat perantasra akulturasi dan sinkretisme budaya Hindu-Budha dengan ajaran-ajaran Agama Islam. Dengan demikian Agama Islam lebih diterima masyarakat dan dapat berkembang pesat sampai saat ini. Tradisi Grebeg Besar yang berlangsung tanggal 10 Dzulhijjah saat Idul Adha biasanya diawali dengan berbagai macam kegiatan jaauh hari sebelumnya. Diantara rangkaian Grebeg Besar itu diawali dengan acara pisowonan bupati ke sesepuh ahli waris Sunan Kalijogo ritual penjamasan pusaka, selamatan ancakan atau tumpeng sembilan, ziarah ke makan sunan Kalijogo dan Sunan-sunan lainnya, Pasar Rakyat Grebeg Besar, dsb.
Dari serangkaian acara tersebut ketika dilihat dari perspektif metodologi dakwah terdapat berbagai hal yang dapat di analisis dari segi kelebihan dan kekurangan.Dilihat dari definisi Metodologi dakwah meliputi beberapa yakni, Metode artinya: Cara yang teratur dan sistematis untuk pelaksanaan sesuatu; cara kerja . Metode juga berarti: Prosedur atau cara memahami sesuatu melalui langkah yang sistematis. Sedangkan dakwah adalah: Sebagaimana yang kami sebutkan di atas, yaitu menyampaikan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam.
Metodeologi dakwah berarti : Suatu cara atau teknik menyampaikan ayat-ayat Allah dan Sunnah dengan sistematis sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Bentuk Tradisi tersebut dapat dilihat analisa kelebihan dan kekurangannya antara lain:
1. Ziarah ke makan Sultan-Sultan Demak dan Sunan Kalijaga,
Kelebihan:
- Ziarah makam merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan energi spiritual seseorang. Karena dengan mengunjungi maakam orang-orang yang sudah wafat dapat mengingatkan kita kepada kematian. Bahwa Kematian tersebut bisa datang kapan saja. ketika ajal menjemput maka manusia tidak dapat mengelaknya. Karena hidup dan mati seseorang ditangan Allah.
- Mengenang jasa-jasa para Sultan Demak dan WaliSongo terutama disebutkan untuk Sunan Kakligo yang telah berjuang menyebarkan Agama Islam di Daerah Demak dengan berbagai macam Strategi Dakwah yakni akulturasi dan sintretisme budaya.
- Mendoakan arwah para leluhur yang telah kembali kepada Allah. Semoga amalnya diterima disisi Allah dan diampuni dosanya.
Kekurangan:
- Tradisi ziarah makam sering disalah artikan oleh sebagian masyarakat. Diamana persepsi masyarakat tentang ziarah ke makam ini sebagai tempat untuk berdoa memohon dan meminta perlindungan, rizqi, hajat tertentu dan keselamatan kepada ahli kubur. demikian itu dapat menjurus kepada kesyirikan. Karena memohon pertologan kepada ahli kubur. Bukan kepada Allah. Padahal seharusnya kepada Allahlah tempat kitas mengadu dan memohon pertolongan.
- Banyak warga sekitar yang mengambil kesempatan dari banyaknya orang yang datang berziarah. Diantaranya yaitu pengemis. Dapat kita jumpai banyak sekali peminta-minta dari yang mulai anak-anak sampai yang tua menyadongkan tangan untuk sekedar mendapat sekoin uang dari para peziarah. Herannya lagi jumlah mereka lumayan banyak untuk wilayah yang secuil itu.

2. Pasar Malam Rakyat yang dimeriahkan panggung dangdut di Tembiring Jogo Indah
Kelebihan:
- Acara tersebut merupakan mentuk dari rasasyukur kepada Allah Ta’ala dan sebagai sarana hiburan warga. Dengan adanya acara tersebut dapat meramaikan suasana di Kota Demak
- Membuka lapangan pekerjaan dan dapat dijadikan sumber penghasilan masyarakat. Karena di dalam Pasar Malam Rakyat tersebut terdapat banyak pedangang yang menjajakan barang dagangannya.
Kekurangan:
- Munculnya budaya konsumerisme pada masyarakat. Karena masyarakat akan berbondong-bondong membelanjakan uangnya, membeli beraneka barang yang ada di Pasar Malam. Dan herannya lagi seolah-olah pergi ke pasar malam itu wajib belanja hingga kadang ritual dan tradisi dari beberapa rangkaian acara Grebeg Besar, hanya pasar malamlah yang terpenting harus ada.
- Hiburan yang disajikan beruka pentas Dangdut dapat menghilangkan eksistensi dan tujuan utama diadakannya Rangkaian acara Grebeg Besar Demak. Bahkan dari konser Dangdutan yang digelar dapat menimbulkan hal negatif yang ditontonkan baik dari para penyanyinya maupun para penontonnya yang sering berujung kepada kemaksiatan.

3. Selamatan dan Tumpeng Sanga
Selamatan Tumpeng Sanga dilaksanakan pada malam hari menjelang hari raya Idul Adha bertempat di Masjid Agung Demak. Sebelumnya kesembilan tumpeng terebut dibawa dari Pendopo Kabupaten Demak dengan diiringi ulama, para santri, beserta Muspida dan tamu undangan lainnya menuju ke Masjid Agung Demak. Tumpeng yang berjumlah sembilan tersebut melambangkan Wali Sanga
Kelebihan
- Selamatan ini dilaksanakan dengan harapan agar seluruh masyarakat Demak diberikan berkah keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat dari Allah SWT.
- bertujuan untuk memohon berkah kepada Allah SWT agar sesepuh dan seluruh anggota Panitia penjamasan dapat melaksanakan tugas dengan lancar tanpa halangan suatu apapun
- untuk menghormati dan menjamu para tamu yang bersilaturahmi dengan sesepuh.
- Acara selamatn tersebut diawali dengan pengajian umum diteruskan dengan pembacaan doa. Sesudah itu kepada para pengunjung dibagikan nasi bungkus. Pembagian nasi bungkus tersebut dimaksudkan agar para pengunjung tidak berebut tumpeng sanga.
Kekurangan
- Maksud masyarakat datang ke acara slametan dan tumpeng sanga terkadang ada hal yang melenceng niatnya yakni untuk mendapatkan bagian dari sesajen tumpeng sanga yang dipercara terkandung kasiat bacaan do’a

4. Shalat Id
Kelebihan:
- Pada tanggal 10 Dzulhijah Masjid Agung dipadati oleh umat Islam yang akan melaksanakan Sholat Ied, Pada kesempatan tersebut Bupati Demak beserta Muspida melaksanakan sholat di Masjid Agung Demak dan dilajutkan dengan penyerahan hewan qurban dari Bupati Demak kepada panitia
- Pemotongan hewan Kurban dan dibagikan kepada kaum dhuafa dan masyarakat sekitar
Kekurangan:
- Kurangnya tempat untuk pelaksanaan shalat Idul Adha. Karena banyak masyarakat yang ikut melaksanakan shalat jamaah Idul Adha di Masjid. Sedangkan pada hari biasanya jarang orang yang pergi ke masjid.
- pada saat-saat seperti itu Masjid Agung Demak sudah tidak dapat lagi menampung para jamaah, karena penuh sesak dan melebar ke jalan raya, bahkan sebagian melaksanakan sholat di alun-alun.
5. Penjamasan Pusaka Peninggalan Sunan Kalijaja (Kutang OntoKusuma dan Keris Kyai Cubruk)
Penjamasan pusaka ini maksudnya yakni mencuci Keris pusaka. Kedua pusaka tersebut adalah Kutang Ontokusuma dan keris Kyai Cubruk. Konon Kutang Ontokesuma adalah berwujud ageman yang dikiaskan pegangan santri yang dipakai sunan kalijaga setiap kali berdakwah.
Kelebihan:
- Melestarikan budaya Jawa
- Terkandung beberapa nilai dan makna filosofis, bahwa penjamasan tidak melihat dengan mata telanjang, tetapi melihat dengan mata hati. Maksudnya dalam melakukan sesuatu tidak hanya sekedar melihat apa yang tanpak diluar. Tetapi juga maksud yang terkandung didalamnya. Selain itu dengan penjamasan keris tersebut juga melambangkan bahwa ahli waris sudah bertekad bulat untuk menjalankan ibadah dan mengamalkan agama Islam dengan sepenuh hati.
- Melaksanakan wasiat Sunan kalijaga “agemanku, besok yen aku wis dikeparengake sowan engkang Maha Kuwaos, salehna neng dhuwur peturonku. Kajaba kuwi sawise aku kukut, agemanku jamasana.
- Dengan dilakukannya penjamasan tersebut, diharapkan umat Islam dapat kembali ke fitrahnya dengan mawas diri / mensucikan diri serta meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT
Kekurangan :
- Penjamasan pusaka dilakukan dengan ritual-ritual khusus dengan do’a-do’a seperti mantra berbahasa Jawa khusus.
- Bahan-bahan khusus yang digunakan untuk penjamasan seperti jeruk nipis, air kelapa, minyak cendana, kemenyan, dsb. Seolah-olah keris tersebut merupakan benda sakti yang mempunyai kekuatan Supranatural.
- Munculnya persepsi dan kepercayaan masyarakat bahwa ada kekuatan gaib dalam benda-benda tertentu yang harus diperlakukan secara khusus dan istimewa.

Konsep Otonomi Daerah dan Federalisme Negara dalam pembangunan Indonesia

  
I.         PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari beberapa daerah dan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Keberagaman suku bangsa, budaya, bahasa, potensi Sumber Daya Alam yang tersebar di berbagai daerah itu menimbulkan suatu problematis. Seharusnya perbedaan-perbedaan itu akan mewarnai bangsa kita sebagaimana dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Akan tetapi, dalam hal pengelolaannya dalam sistem politik negara kita masih menimbulkan banyak ketidakpuasan masyarakat. Karena terdapat kesenjangan yang signifikan antara pemerintah pusat dan daerah-daerah lainnya.  Sehingga menyebabkan kurang meratanya pembangunan di Indonesia. Hal itulah diantaranya yang menimbulkan konsep otonomi daerah dan isu-isu terbentuknya negara federal maupun konsep federalisme.
Pasca reformasi model negara Federalis adalah suatu wacana yang sangat besar, hal ini mengingat pada masa pemerintahan sebelum reformasi pembangunan hanya tefokus pada Pulau Jawa dan hal ini menimbulkan kesenjangan sosial bagi daerah lain di luar Pulau Jawa. Model sentralistis yang diterapkan oleh pemerintah Orde baru memang mencapai perkembangan ekonomi yang dapat dibilang membangagakan, tetapi di luar itu perkembangan ekonomi tidak mengalami pemerataan sehingga pembangunan bersifat “mercusuar” atau terpusat. Kecemburuan terhadap ketidakmerataan pembangunan tersebut menimbulkan gejala-gejala disintergrasi bangsa yang dibuktikan mulai bermunculan gerakan-gerakan separatis yang mendorong suatu daerah untuk memerdekakan diri. Kemudian untuk mengatasi hal tersebut mulai muncullah wacana mengenai bentuk negara Federalis, bentuk negara atau pemerintahan yang terdiri dari gabungan beberapa negara. Dari wacana mengenai negara federalis keluarlah konsep Otonomi daerah yang diterapkan dalam negara kesatuan sebagai usaha untuk menangkal wacana federalis tersebut. 
            Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti “keputusan sendiri” (self ruling). Otonomi mengandung pengertian kondisi atau ciri untuk tidak dikontrol oleh pihak lain atau kekuatan luar atau bentuk pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri. Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, satu prinsip yang harus dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap berada dalam konteks persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
            Pada saat ini, ketika reformasi politik sedang bergulir, salah satu pertanyaan yang muncul kembali ialah apakah kita akan mempertahankan bentuk negara kesatuan atau mengubahnya menjadi negara federal?.
   
II.      PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang dalam pendahuluan diatas, dalam makalah kami yang berjudul “Konsep Otonomi Daerah dan Federalisme Negara dalam Pembangunan Indonesia”, akan membahas meliputi beberapa topik yakni:
A.    Konsep Otonomi Daerah
B.     Konsep Feodalisme Negara
C.     Integrasi Alternatif dalam menjebatani antara Kesatuan, otonomi dan federasi
D.    Peran Otonomi Daerah dan Federalisme Negara dalam Pembangunan Indonesia

III.   PEMBAHASAN
A.    Konsep Otonomi Daerah
1.      Tinjauan Historis Otonomi Daerah
 Pada setiap zamannya, terdapat benang merah, yang menunjukkan bahwa substansi Otonomi Daerah telah lama ada, yakni memberikan kewenangan pada pemerintahan daerah, untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk untuk mengoptimalisasikan potensi sumber daya manusia dan potensi alamnya. Realitasnya menunjukkan, konsep Otonomi daerah mendorong penyelenggaraan pemerintah daerah bisa secara efektif dan efisien.
Kalaupun ada perbedaan yang mencolok, terdapat pada "kepentingan" pemerintah pusat pada setiap zamannya. Semasa kerajaan-kerajaan nusantara, Otonomi Daerah cenderung diterapkan secara feodalistik, Kerajaan pusat memberikan kewenangan kepada raja-raja kecil yang menjadi bawahannya untuk mengelola administrasi pemerintahannya, memajukan pembangunan sampai memungut pajak dari rakyat, sebagaian besar hasilnya harus diserahkan kepada Kerajaan Pusat bernama upeti.[1]
Saat Orde Baru muncul dengan sistem pemerintahannya yang sentralistis dan penguasaan daerah, muncullah UU No. 5/1974. Undang-undang yang lebih menekankan pada kedudukan yang sama pentingnya diantara dekonsentrasi dan desentralisasi dengan menggunakan konsep riil dan bertanggungjawab yang sangat kabur. Akibatnya, dekonsentrasi menjadi overshadowing terhadap desentralisasi. Kekuasaan pemerintah pusat menjadi terlalu besar. Meski setelah 21 tahun berkuasa, Orde Baru mencoba melepaskan keterpusatannya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan titik berat otonomi di Daerah Tingkat II.
Diera reformasi dimana terjadi perubahan dari kesesakan, penekanan, pembatasan kepada kemandirian empowering dan lebih memberikan keleluasaan dan pemanfaatan potensi daerah oleh masing-masing daerah sendiri.[2]


2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah
a.       Faktor manusia pelaksana
-          Kepala Daerah
-          DPRD
-          Kemampuan Aparatur Pemerintah Daerah
-          Partisipasi masyarakat
b.      Faktor keuangan Daerah
-          Pajak Daerah
-          Retribusi Daerah
-          Perusahaan Daerah
-          Dinas Daerah dan Pendapatan lainnya
c.       Faktor Peralatan
d.      Faktor organisasi dan manajemen.[3]

3.      Kewenangan Daerah Otonom
Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dibidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama dan kewenangan bidang lain, sebagaimana tercantum dalam pasal 11 Undang-undang negara nomor 22 tahun 1999 mengatur:
a.       Kewenangan daerah kabupaten/kota mencakup semua kewenangan yang dikecualikan pasal 7 dan yang diatur pasal 9.
b.      Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten dan kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.[4]

4.      Konsep Otonomi Daerah Alternatif:
·         Devolusi asimetris adalah desentralisasi luas (desentralisasi politik, ekonomi/fiscal dan administrasi) namun tidak harus seragam untuk wilayah negara, mempertimbangkan kekhususan masing-masing daerah /region.
·         Otonomi Daerah berbasis Kewilayahan/ regional.  
Artinya setiap wilayah /kawasan diatur oleh UU otonomi daerah yang berbeda, sesuai dengan karakteristik geografi (laut, darat, dan sebagainya), potensi dan permasalahan di wilayah/kawasan yang bersangkutan.
·         Pendekatan kewilayahan / regionalitas akan mempermudah pembagian wewenang dan tugas antara pemerintah pusat-provinsi-kabupaten/kota. Kewenangan menangani daerah perbatasan yang selama ini sering kali diklaim sebagai domain kekuasaan pemerintah pusat (karena menyangkut pertahanan dan keamanan (hankam),dan hubungan dengan luar negeri)
·         Pengkajian yang holistik dan multi-disipliner (pendekatan banyak ilmu: sosial budaya, ekonomi, politik dan natural sciences) pada setiap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.
·         Konsep Depdagri (dalam UUNo. 32/2004) mengenai akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas dalam pembagian kewenangan Pusat-Daerah (dan kerjasama antardaerah) perlu disempurnakan untuk membantu memetakan permasalahan kewenangan sekaligus kemungkinan mencarikan jalan keluarnya.
·         Pendekaatan bio-region (yang dimodifikasi) perlu akomodasi dalam kebijakan pusat mengenai otonomi daerah. Ini untuk mengurangi konflik-konlik SDA (Sumber Daya Alam), meningkatkan kerjasama antar daerah, dan untuk menjaga keseimbangan alam/ lingkungan hidup.
·         Konsep pemerintah tentang “Pendapatan Asli Daerah” (PAD) selama ini yang cenderung merugikan daerah, perlu segera direvisi.
·         Desentralisasi pemerintah akan pincang tanpa ada desentralisasi kepartaian. Artinya revisi UU politik perlu senafas (saling mendukung) dengan revisi UU yang mengatur otonomi daerah.[5]     



B.     Konsep Federalisme Negara
1.       Tinjauan Historis Federalisme di Indonesia
Pada dasarnya Indonesia ini dari mulanya memang tidak merupakan suatu negara kesatuan. Akan tetapi para pejuang berfikir unitaris. Mereka merintis dan percaya bahwa pada dasar negara kesatuan mereka yakin dapat merdeka melawan penjajah. Sehingga berkembang menjadi Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dengan meyakininya sebagai SATU TANAH AIR, atau SATU NUSA yang tidak terbagi-bagi. Ringkasnya semua pendiri negara pada waktu itu sepakat untuk mendirikan sebuah negara kesatuan yang berujung pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ditambah dengan ditetapkannya UUD Negara RI pada tanggal 18 Agustus 1945 pasal 1 ayat 1, yang dicantumkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Akan tetapi konsep negara kesatuanpun tidak bertahan lama. Bangun negara ini depertahankan selama Republik pertama ( 17 Agustus 1945- 27 Desember 1949).
Pemerintah Beranda yang berusaha menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia, menciptakan negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan yang dimaksudkan untuk memecah-belah rakyat Indonesia. Maka usaha pemerintah Belanda itu menghasilkan pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1945. RIS terdiri atas 16 daerah bagian, yaitu 7 negara bagian dan 9 satuan kenegaraan yang berdiri sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian Renvill tanggal 17 Januari 1948.
Dengan terbentuknya republik ketiga sebagai negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950, maka berakhirlah dan dihapuskannya daerah-daerah bagian dari percaturan politik golongan federalis. Selanjutnya Indonesia kembali lagi ke bentuk negara kesatuan. Apalagi  dengan Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD Nasional.
Dengan dikeluarkannya dekrit presiden, lahirlah republik keempat (5 Juli 1959 – sekarang) yang dibagi dalam tiga periode. Yaitu Orde lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Pada Orde lama dan Orde Baru tidak terdengar suara mengenai soal negara federal, atau setidak-tidaknya tidak sampai kepermukaan. Maka dalam peiode reformasi ini mulai terdengar aspirasi masyarakat mengenai negara federal. Dengan kata lain, muncul kembali golongan federalis yang notabene bukan merupakan rekayasa dari atas. [6]

2.      Latar belakang munculnya konsep negara federal di Indonesia:
a.       Dalam sejarah panjang Republik Indonesia, baik dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru, pemerintah pusat tidak pernah mau membagi kekuasaan dan keuntungan yang dimilikinya. Lebih jauh lagi pemerintah pusat selalu menggunakan kekerasan setiap kali menghadapi tuntutan untuk memperoleh bagian dari pemerintah pusat. Selama lima puluh tahun, wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke selalu diidentikkan sebagai bagian dari Jakarta (kesatuan kekuasaan).
b.      Ketegangan-ketegangan politik dan ekonomi, seperti peristiwa RMS, PRRP-Permesta, Pemberontakan Aceh, Papua Merdeka- dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan nasional.
c.       Seiring dengan menurunnya tuntutan untuk merdeka, para pengamat dari wilayah yang sangat kaya akan sumber daya alam memberikan usulan agar negara kesatuan RI diubah menjadi negara federal
d.      Tuntutan atas tindak ketidakadilan dan diskriminasi dibeberapa wilayah di Indonesia. Seperti halnya rakyat Papua, Kalimantan, dsb, seolah-olah menjadi warga negara kelas tiga diatas tanah mereka sendiri dan terlebih lagi, rakyat Papua sering kali hanya menjadi pengamat terhadap semua proyek “pembangunan”.[7]
Sedangkan menurut Adnan Buyung Nasution mengedepankan dua isu reflektif:
1.      Perdebatan mengenai federalisme merupakan akibat langsung dari kegagalan negara kesatuan untuk mengatasi persoalan yang sangat nyata yang sedang dihadapi Indonesia:
2.         Kemunculan kembali aspirasi terhadap federalisme dari sudut pandang konstitusional, terletak diantara distribusi kekuasaan ditangan pemerintah disatu sisi, dan ditangan masyarakat disisi lainnya. [8]

3.      Konsep federalisme dibangun oleh enam prinsip dasar yaitu :
a.       Non Centralization,
Didalam federalisme tidak ada pusat kekuasaan yang mendominasi unit-unit politik yang lainnya karena antara unit politik dengan pusat kekuasaan mempunyai kedudukan atau status yang sama. Hanya saja melalui pengaturan, pemerintah federal memiliki hak-hak yang bersifat ekslusif, seperti misalnya, menyangkut politik luar negeri, pertahanan, kebijaksanaan moneter dan pencetakan uang, dan lain-lain. Akan tetapi, pada dasarnya kekuasaan tidaklah bersifat hirarkis dalam bentuk pyramidal dimana aura kekuasaan berada di puncak paramida sebagaimana dalam pemerintahan yang unitaristik. Dengan demikian dibawah, federalisme tidak ada pola hubungan antara Pusat dengan Periperi sebagaimana dikenal di berbagai Negara.
b.      Democracy,
            Menyangkut derajad perwujudan demokrasi, Negara-negara yang menjalankan pemerintahan yang federalistik pada umumnya sejalan dengan komitmen dari masyarakat dalam Negara tersebut untuk menjalankan demorasi seutuhnya.
c.       Check & Balances,
Mekanisme itu adalah bagimana mengatur hubungan di antara lembaga-lembaga Negara, serta hubungan antara warga masyarakat dengan Negara.
d.      Open Bargaining,
Federalisme harus memungkinkan terjadinya perundingan secara terbuka di antara berbagai pihak, dan rundingan-rundingan tersebut harus dilaksanakan secara terbuka.
e.    Constitutionalism
              Konsep yang sangat mendasar di dalam  menyelenggarakan federalisme adalah menyangkut Constitualism. Mengenai konstitusi yang diselenggarakan dalam pererintahan itu.
f.       Fix Units.
Menyangkut unit-unit pemerintahan yang sudah tetap (Fixed units). Garis pembatas antara satu lembaga, antara wilayah Negara bagian, antara wilayah daerah sudah merupakan sesuatu yang sangat jelas, sehingga tidak akan dengan mudah diutak-atik lagi demi kepentingan yang sesaat.
       . Jika tidak terdapat ciri prinsip seperti yang disebutkan diatas maka negara tersebut tidak disebut Negara federal. Sebagaimana negara-negara seperti Malaysia, Amerika Serikat, Jerman, Swiss, Austria, Spanyol, Kanada maju karena federalism.[9]

C.     Integrasi Alternatif dalam menjebatani antara Kesatuan, otonomi dan federasi
Berbagai pertanyaan yang muncul ketika  reformasi politik sedang bergulir, salah satunya ialah apakah kita akan mempertahankan bentuk negara kesatuan atau mengubahnya menjadi negara federal, maka muncul gagasan baru : Indonesia akan tetap mampertahankan bentuk negara kesatuan, namun dapat mengadopsi unsur-unsur federalisme dengan mempertimbangkan keberagaman sejarah, nilai-nilai, serta faktor geografis wilayahnya. [10]
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (2000) menekankan bahwa yang lebih penting lagi adalah membangun sistem negara kesatuan dengan perilaku/ karakter negara federal. Menurutnya sistem negara kesatuan atau federal, tidak akan tidak akan bertahan tanpa sikap yang benar dari orang yang menjalankan serta membuka diri terhadap masukan dari sistem politik lain.
Dengan mengambil beberapa contoh disejumlah daerah, seperti Aceh, Maluku, dan Papua, Gus Dur berpendapat bahwa tuntutan otonomi bahkan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih disebabkan oleh kekecewaan atas perilaku yang mereka alami selama ini. Aceh melawan Daerah Operasi Militer (DOM) karena pihak militer dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Di Maluku terjadi kesenjangan antara umat muslim dan Kristen, sedangkan di Papua GusDur mengharapkan agar pemerintah lokal selanjutnya harus mampu memenuhi kebutuhan kedua belah pihak, yaitu memahami kebutuhan emosional masyarakat lokal dan para investor.[11]
Dengan melihat dalam kerangka pergerakan kebangsaan dalam masa penjajahan Belanda, Deliar Noer membahas kemungkinan terlepasnya beberapa daerah tertentu dari Republik Indonesia yang akan dilihat sebagai pelanggaran Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang mencerminkan integrasi Indonesia. Indonesia sebaiknya mempertahankan status negara kesatuan, namun dengan memberikan otonomi sepenuhnya pada daerah-daerah yang segera diterapkan dalam waktu singkat. Dalam kaitannya ini, distribusi kekuasaan dan pendapatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan dengan adil, sementara pemberian otonomi sebaiknya lebih dititikberatkan pada kabupaten dari pada provinsi, yang didalamnya provinsi lebih bersifat sebagai koordinator.  
Dibandingkan dengan negara federal, bentuk negara kesatuan plus otonomi lebih mudah diimplementasikan karena pembagian wilayah sedikit banyak telah tuntas. Perpindahan pegawai dari pusat ke daerah atau antar daerah lebih mudah dibandingkan dalam bentuk federal karena pemerintah pusat dapat dengan mudah mengirimkan orang-orang berpengalaman dan berpendidikan ke daerah. Pemerintah pusat dapat lebih mudah membantu pemerintah daerah. Dari sudut idealisme politik, kohesi perasaan sebagai bangsa Indonesia dapat lebih mudah terpelihara dalam bentuk negara kesatuan. Kesatuan diharapkan akan menumbuhkan kebanggaan Nasional. 

D. Otonomi Daerah dan Federalisme Negara dalam Pembangunan Indonesia
Dalam Pembangunan suatu daerah maupun negara perlu ditekankan adanya: prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, dalam pelaksanaannya. Sejarah masa lalu membuktikan bahwa krisis multisegi bangsa Indonesia saat ini sebenarnya bukan terletak pada melemahnya nasionalisme, tetapi karena terjadinya proses ketidakadilan struktural dalam sistem masyarakat Indonesia. Musuh utama nasionalisme dalam pembangunan yang berkembang saat ini adalah banditisme modern struktural; ideologi pemaksaan dan manipulasi kekuasaan yang kolutif oleh beberapa elite terhadap massa rakyat. Oleh karena itu dalam pembangunan daerah semangat nasionalisme perlu dilembagakan[12]
 Pelaksanaan konsep otonomi daerah dan konsep federalisme di Indonesia sama-sama dapat memberikan keuntungan untuk pembangunan diIndonesia. Salah satunya untuk pemerataan Pembangunan di tiap daerah di Indonesia. Subsidi silang baik sumber daya alam maupun Sumber daya manusia dapat dilakukan dengan efektif dalam konsep negara kesatuan dengan otonomi didaerahnya. Sehingga negara yang kaya akan Sumber Daya Alamnya dapat diolah sedemikian rupa oleh daerahnya untuk kemajuan daerah dan memberikan subsidi silang untuk daerah yang masih kurang sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan tetap terkontrol oleh pusat.
Maka dari itu konsep negara kesatuan di Indonesia ini akan lebih sempurna dengan pemberian otonomi bagi daerah-daerahnya dengan tetap mampertahankan bentuk negara kesatuan, namun dapat mengadopsi unsur-unsur federalisme dengan mempertimbangkan keberagaman sejarah, nilai-nilai, serta faktor geografis wilayahnya.  Sebagaimana salah satu aspek positif dari desentralisasi ini dimaksudkan untuk mencegah penumpukkan kekuasaan pada satu pihak saja.
Selain itu kekuatan masyarakat lokal dan kontrol publik yang diusung oleh otonomi daerah dan federalisme merupakan sebuah modal sosial  (social capital) sebagai sebuah kekuatan lokal (lokal power) yanga dapat dijadikan tempat persemaian demokrasi dan tumbuhnya civil society. Ketika masing-masing daerah dapat memegang konsep otonomi dan feseralisme dengan baik maka tak diragukan lagi akan pembangunan di Indonesia ini baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan maupun teknologi. Karena didukung oleh sisten politik yang memadai.


IV.   KESIMPULAN
        Keberagaman suku bangsa, budaya, bahasa, Kekayaan Sumber Daya Alam yang tersebar di berbagai daerah merupakan sebuah rahmat bagi bangsa Indonesia ini, ketika dapat diimplementasikan dengan bijaksana. Beberapa problematis seperti kecemburuan sosial, ketidakadilan, dsb memunculkan konsep-konsep otonomi daerah dan munculnya gagasan negara federal yang tentunya itu akan mengkotak-kotakkan daerah bahkan dapat menggoncang kesatuan bangsa Indonesia. Akan tetapi,  Indonesia sebaiknya mempertahankan status negara kesatuan, namun dengan memberikan otonomi sepenuhnya pada daerah-daerah.
        Konsep negara kesatuan di Indonesia ini akan lebih sempurna dengan pemberian otonomi bagi daerah-daerahnya dengan tetap mampertahankan bentuk negara kesatuan, namun dapat mengadopsi unsur-unsur federalisme. Dibandingkan dengan negara federal, bentuk negara kesatuan plus otonomi lebih mudah diimplementasikan karena pembagian wilayah sedikit banyak telah tuntas. satunya untuk pemerataan Pembangunan di tiap daerah di Indonesia.

V.      DAFTAR PUSTAKA
·         Bhakti, Ikrar Nusa dan Riza Sihbudi.2002. Kontroversi Negara Federal: Mencari Bentuk Negara Ideal Indonesia Masa Depan. Bandung: Mizan
·         Nasution, Adnan.B, dkk.1999. Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas
·         Ratnawati,Tri. 2006. Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia dimasa Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·         Riwukaho, Josef. 2001. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada
·         Utomo, Warsito. 2003. Dinamika Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·         Widjaja, HAW. 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.  
·         eprints.undip.ac.id/1098/2/NasmOtda.pdf