Minggu, 22 Januari 2012

PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM MULLA SHADRA

Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, orang sering beranggapan bahwa penyerbuan Mongol terhadap dunia islam yang telah menghancurkan khilafah Timur dan terusirnya orang Islam dari Spanyol telah menghilangkan khilafah Barat. Bersamaan dengan itu, umat Islam  pun tenggelam dalam tidur panjang. Dalam arti perkembangan pemikiran dari dunia Islam seakan-akan terhenti.

Dengan berdirinya kerajaan Safawi pada tahun 905 H/1499 M oleh Syah Ismail, mengawali warna mistis dan filosofis pada penguasa-penguasa Persia dari golongan Syiah. Perkembangan pemikiran  pada zaman Safawi ini mempunyai karakteristik yang khas, yang disebut sebagai mazhab Isfahan. Mazhab ini menampung perkembangan Peripatetik (Masya’i), Illuminasionis (Isyraqi), Gnostik (‘Irfani) dan Teologis (Kalam). Aliran-aliran ini berkembang pesat selama empat abad sebelum Mulla Shadra, yang merupakan jalan buat sintesis utama yang dilakukan oleh Mulla Shadra . Aliran filsafat yang digagas oleh Mulla Shadra ini biasa disebut Teosofi Transenden (al- hikmah al-muta’aliyah).

Meskipun sempat terlambat  dikenal dan dipahami, sehingga timbul keyakinan bahwa filsafat Islam telah mati setelah Ibn Rusyd. Saat ini telah diterima secara luas bahwa Hikmah adalah suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya tidak hanya sebagai bukti masih-hidup dan dinamisnya filsafat Islam pasca Ibn Rusyd, tetapi juga menunjukkan bahwa-lebih dari Paripateisme dan Israqiyah-filsafat Hikmah layak dsebut filsafat Islam yang sesungguhnya.

Kehidupan Mulla Sadra
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qowami Syirazi, yang dikenal dengan nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla Sadra, dilahirkan di Syiraz pada 979 H/1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhormat. Ayahnya dikenal sebagai seorang penasehat raja dan bekerja sebagai ahli hukum islam dipemerintahan Syafawi tepatnya di Provinsi Fars.
Seusai menamatkan pendidikan dasarnya di Syiraz, dia berangkat menuju Isfahan yang pada waktu itu menjadi pusat pemerintahan dan pusat intelektual  Persia. Disana dia bertemu dengan guru-guru terkenal pada waktu itu. Dia belajar ilmu-ilmu agama (naqli) pada Syaikh Baha’ Al-Din Al ‘Amili dan belajar ilmu-ilmu rasional (aqli) filsafat dan logika pada Mir Damad. Keduanya merupakan pelopor utama madzhab Isfahan. Menurut beberapa sumber, dia juga dikatan pernah belajar pada sufi terkenal Mir Findiriski.
      Pembelaan dan usaha Mulla Shadra untuk menyebarkan ajaran-ajaran gnostik (‘irfan) akhirnya membawanya kepada konflik dengan para ahli hukum. Kalau bukan karena pengaruh ayahnya di pengadilan, barangkali ia akan mengalami nasib yang sama dengan yang menimpa Suhrawardi. Sebagai konsekuensi dari tekanan-tekanan tersebut, dia mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat dan berdiam diri disebuah dusun kecil di Kahak, dekat Qum, tempat dia menghabiskan hari-harinya hingga tujuh atau menurut  beberapa sumber sebelas tahun untuk melakukan amalan-amalan tasawuf dan asketis.
      Hingga akahirnya Allahwardi Khan (Gubernur Fars waktu itu), membangun  sebuah sekolah yang besar di Syiraz dan memanggil mulla sadra untuk dimintai kesediaannya menjadi guru besar disekolah tersebut. Dia menerima tawaran itu dan dibawah pimpinannya sekolah tersebut menjadi pusat studi yang berpengaruh di Persia, hingga mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru datang untuk belajar disitu. Hal itu kira-kira berjalan hingga tahun 1050 H hingga akhirnya dia kembali ketempat kelahirannya untuk menghabiskan waktu untuk menulis. Mulla Sadra meninggal pada usia 79 tahun di Basrah, sepulangnya dari menunaikannya ibadah haji yang ketujuh.

Karya-karya
Tulisan-tulisan Mulla Sadra barangkali dapat dibedakan kedalam hal-hal yang secara khusus berkaitan dengan ilmu-ilmu rasional disatu pihak, dan ilmu-ilmu yang memusatkan perhatiannya pada agama dipihak lain. Pada kategori pertama meliputi:
·           Al- Hikmah Al-Muta’aliyah fi Al-Asfar Al-Arba’ah atau yang lebih dikenal dengan sebuatan asfar (Teosofi Transenden Mengenai  Empat Perjalanan), sebuah buku yang mengupas tentang asal mula dan tujuan perjalanan alam semesta dan jiwa manusia pada khususnya. Merupakan karya yang seringkali ditunjuk sebagai salah satu monumen terbesar metafisika Islam
·           Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad (kitab asal dan tujuan).
·           Al-Syaw ahid Al-Rububiyyah (Kesaksian Ilaihi)
·           Al-Hikmah Al-Arsyiyyah (Kitab Teosofi tentang Singgasana Keilahian).
Tentang realitas terdalam dari transendensi atau Wujud Arsy Ilaihi dan banyaknya masalah yang muncul dalam upaya menyatukan pengalaman akan tatanan itu dengan bentuk-bentuk yang dikenal dari eksistensi kita.
Sedangkan karya-karyanya yang termasuk dalam kategori kedua, atau yang bersifat keagamaan, antara lain adalah komentar terhadap kitab Ushul Al-Kafi, sebuah kitab kumpulan sabda Nabi karya Al-Kulaini. Karya-karya aslinya diperkirakan berjumlah 40 buah. Disamping itu terdapat puluhan lagi ulasan yang oleh murid-muridnya dinisbatkan kepadanya.
Sedangkan beberapa karyanya yang lain meliputi:
·           Risalah fi Ittibad al-Aqil wa al-Ma’qul (soal epistemology)
·           Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Israq (komentar terhadap filsafat illmuminatif)
·           Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’ (komentar atas kitab al-syifa Ibn Sina)
·           Risalah al-Mazaj (tentang psikologi).
·           Mafatih al-ghaib (tentang doktrin gnostik).
·           Al Mazhahir al-Ilahiyyah fi Asrar al-Ulim al-Kamaliyyah (Manifestasi-manifestas Ilaihi). Buku ini menelaah berbagai persoalan metafisika dan masalah-masalah ilmiah dengan mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an serta memuat rangkuman yang dihasilkan dari perjalanan spiritual (as-sair wa as-suluk).
Sumbangan filsafat Mulla Sadra sangatlah banyak. Ulasannya atas karya Al-Sughrawardi, Hikmah Al Isyraq, Al-Abhari, Al-Hidayah fi Al Hikmah, dan Ibn Sina, Al-Syifa’ bersanding dengan risalah-risalahnya tentang Origination, Resurrection (Awal Penciptaan dan Hari Akhir), Predicating Essence of Existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam tema-tema serupa. Namun, karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-Masya’ir (Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-Arca Paganisme), dan “Hikmah Transendental”, yang lebih dikenal sebagai Empat Pengembaraan” (Al-Asfar Al-Arba’ah).

Garis Besar Pemikiran Filsafat  
Menurut M.M. Syarif dalam History of Muslim Philosophy  mengemukan bahwa Mulla Sadra disebut-sebut sebagai pendiri mazhab ketiga yang utama. Mazhab utama pertama adalah mazhab Peripatetik dengan eksponen terbesarnya dalam dunia Islam adalah Ibnu Sina, yang lainnya adalah mazhab Illuminatif (al-hikmah al-isyraqiyah/al-khalidah) yang dibangun oleh Suhrawardi al-Maqtul. Mulla Sadra juga mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari masing-masing mazhab, seperti hylomorphism dari Peripatetik, gradasi wujud dan pola-pola surga (celestical archetyupes) dari mazhab illuminasi. Bahkan ia mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari ajaran-ajaran sufi Ibnu Sina. Keselarasan dan keteraturan substansi dunia yang sebelumnya tidak pernah nampak sebagai prinsip beberap mazhab hikmat, dan tidak pernah dibangun secara sistemik dalam bahasa yang logis oleh hikmawan sebelum Mulla Sadra. Oleh karenanya, layak disebut sebagai pendiri hikmah yang orisinil dan relatif baru dalam pergumulan filsafat Muslim dengan al-Hikmah al-Muta’alliyah-nya yang berbeda dengan al-hikmah al-masya’iyyah-peripatetik philosophy serta al-hikmah alisyraqiyyah- illuminasionist theosophy.
Persoalan pertama yang digeluti oleh Mulla Sadra adalah persoalan metafisika yang didasari oleh pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Persoalan esensi dan eksistensi menjadi tema sentral dalam uraian filsafatnya. Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran-aliran itu secara umum dikelompokkan menjadi: (1) Aliran paripatetik; (2) Filsafat iluminasionis; (3) Irfan (mistisisme islam); dan (4) kalam (teologi). Pergelutan Mulla Sadra dengan esensi dan eksistensi Allah melahirkan sebuah system filsafat yang tertata. Sadra menggunakan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyyah (filsafat transendental) yang merupakan sinonim dari istilah filsafat tertinggi atau lebuh dikenal dengan filsafat hikmah.
Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional, yakni menggunakan argumen rasional. Secara ontologis, hikmah didasarkan pada tiga hal: ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi), tasykik (gradasi wujud), gerak substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)

1.         Ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi).
Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya, sadra berusaha menjawab masalah mahiyyah (kuiditas/esensi), dan wujud (eksistensi). Perbandingan antara eksistensi-esensi sadra menyatakan eksistensi bersifat positif, pasti, tertentu dan nyata. Sedangkan esensi bersifat samar, gelap, tidak tertentu,negative, dan tidak nyata. Esensi tidak memiliki dirinya sendiri dan apapun yang ada pada-Nya adalah karena hubungan dengan eksistensi, sedang eksistensi bersifat nyata berkat manivestasi dan hubungannya dengan eksistensi mutlak, yakni Tuhan. Bagi sadra, Tuhan adalah wujud mutlak dan apa yang disebut sebagai akal terpisah oleh para filosof atau ide-ide tetap (a’yan al-tsabithah oleh ibnu arabi, tidak mempunyai wujud eksternal tetapi hanya merupakan kandungan dalam fikiran Tuhan, yakni ide-idenya. Selanjutnya jenis-jenis wujud atau eksistensi ini memperlihatkan karakteristik esensial tertentu dalam fikiran. Ini persis dengan matahari yang sebagai sumber cahaya, identik dengan cahaya yang dipancarkan, tetapi cahaya tersebut bisa memunculkan karakteristik yang berbeda seperti yang tampak dalam prisma.
Dengan demikian pandangan Shadra di atas bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi. Karena itu Tuhan sebagai yang maha sempurna dan mutlak tidak mempunyai esensi dan sama sekali tidak dapat dinisbatkan pada pemikiran konseptual.

2.         Tasykik (gradasi wujud)
Jika para filosof peripatetik itu menganggap wujud setiap benda berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipial dalam hubungannya dengan mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda. Meminjam dari Suhrawardi, kita dapat membandingkan berbagai wujud cahaya. Ada cahaya matahari, ada cahaya lampu, ada cahaya lain. Semuanya cahaya, tetapi dengan predikat yang berbeda artinya. Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada binatang, ada batu. Semuanya satu wujud, satu realitas, tetapi dengan berbagai tingkat intensitas dan manifestasi. Gradasi ini bekan pada mahiyah, tetapi pada wujud, bukan pada kuiditas, tetapi pada eksistensi. Tahap paling tinggi dalam hierarki wujud ini adalah Tuhan yang Mahatinggi dan tahap yang paling rendah adalah Materi Awal, yang menjadi bahan segala bahan (maddah al mawadd atau hayula atau hyle).



3.         Gerak Substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)
Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak tidak hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi dan tempat. Akan tetapi gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat dalam dunia eksternal perubahan benda material dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning, kemudian merah. Ukuran, rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena keberadaan aksiden bergantung pada keberadaan substansi, maka perubahan aksiden terkait dengan perubahan substansi juga. Semua benda material berubah. Dalam hubungan ini Shadra mempertahankan sifat huduts (kebaharuan) dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat (yakni, sebagai satuan ukuran kuantitas gerak).

Pemikiran-Pemikiran Mulla Sadra
Shadr Al-Muta’allihin atau Mulla Shadra menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental). Penamaan itu dipakai sebagai sinonim dari islilah filsafat Tertinggi (Al-Hikmah Al-Ulya), lawan dari matematika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat tradisional. Dengan begitu, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah sama persis dengan filsafat pertama yang tak lain adalah filsafat umum. Selain itu  Al-Hikmah Muta’aliyah adalah mazhab pemikirannya dalam metafisika. Urutan dalam hal pembahasan  yang mendasari Al-Hikmah Al Muta’aliyah meliputi::
·           Hakikat kemendasaran eksistensi (ashalah al-wujud).dan Kemanunggalan wujud (wahdad al-wujud). Membahas prinsip mengenai eksistensi dan esensi
·           Penuntasan masalah-masalah menyangkaut eksistensi mental (al-wujud al-dzihni).Arti penting pembahasan eksistensi mental adalah yang berkaitan dengan hubungan antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuan. Masalah ini terkait dengan pengetahuan kesadaran manusia dalam menyingkap realitas. Menurut perspektif para filosof Islam, nilai pengetahuan sepenuhnya bergantung pada pengertian gagasan dan eksistensi mental. Menolak eksistensi mental sama dengan menolak nilai pengetahuan dan kesadaran manusia secara mutlak.
·            “keserbamungkinan yang membutuhkan” (al-imkan al-faqri).
Para logikawan telah memaparkan dua jenis keniscayaan esensial. Yang pertama keniscayaan esensial sementara. Sebagai contoh, apabila kita katakan bahwa esensi manusia adalah “hewan rasional” (atau esensi “empat” adalah “bilangan genap”), maknanya adalah bahwa eksistensi manusia terkait langsung dengan esensi kehewanan dan rasionalitasnya. Oleh karena itu, tanpa rasionalitas pasti tidak ada manusia. Sedangkan dalam keniscayaan abadi, hanya milik Allah.
·           Telaah tentang hakikat kausalitas dan watak hubungan sebab-akibat, peneguhan hubungan akibat pada sebab sebagai hubungan iluminatif; dan pengakuan adanya efek kemaujudan (ontic/ watak) sebagai “manifestasi” (tajali wa tasya’un).contoh: seorang ayah dan anak adalah dua maujud. Yang pertama merupakan sumber bagi yang kedua, dalam arti bahwa anak berasal dari ayah. Lalu terjadilah suatu hubungan diantara keduanya sebagai hakikat ayah atau anak.
·           Pengukuhan gerakan subtansial (al-harakah al-jauhariyyah);
Semua maujud alami dapat berubah karena kodrat alam itu sendiri adalah potensi dan kesiapan. Perubahan bersifat seketika dan bertahap seiring dengan perputaran waktu disebut dengan “gerak” (harakah).

Selain itu topik-topik yang menjadi kajian filosofis Mulla Shadra meliputi:
a.       Pengukuhan kesatuan antara subjek (the knower) dan objek pengetahuan (the known)
b.      Bukti kesementaraan alam (huduts).
c.       Pembuktian jenis ketunggalan yang dinamakan dengan “kemanunggalansejati yang nyata” (al-wahdah al-haqqah al-haqiqiyyah).
d.       Pembuktian bahwa benda yang terdiri dari materi (matter) dan bentuk (form) merupakan gabungan yang terjadi melalui penyatuan (al-tarkib al-ittihadi atau unification).
e.       Bukti atas eksistensi Wujud Wajib (the Necessary Being) yang disebut dengan Burhan Al-Shiddiqin.dan Bukti khusus yang didasarkan pada Burhan Al-shiddiqin bagi keesaan Wujud Wajib.
f.       Kajian mengenai masalah-masalah yang menyangkut pengetahuan Tuhan dan pandangan bahwa pengetahuan-Nya terhadap suatu objek bersifat sederhana dan tidak terkotak-kotak, namun pada saat yang sama bersikap menyingkapkan semua perincian yang meliputinya (kasf tafsshili).
g.      Penegasan bahwa jiwa bersifat jasmani pada mulanya (jismaniyyah al-baqa’)
h.      Pengkajian mengenai bashirah (penglihatan batin atau vision) dan daya-daya pencerapan indriawi (sense-perception) lain.
i.        Ciri nonmaterial daya imajinasi. Dan Penegasan pandangan  bahwa jiwa dalam ketunggalannya meliputi semua daya (al-nafs fi wahdatihah kullu al-quwa’)
j.        Penegasan pandangan bahwa yang universal (kulli) terbentuk melalui sejenis sublimasi atau proses perubahan ke arasy yang lebih tinggi (ta’ali), dan tidak semata-mata melalui abstraksi (tajrid wa intizha).
k.      Bukti adanya kebangkitan fisik.
 
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan  suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika. Dengan demikian sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak disebut filsafat Islam yang sesungguhnya.


 Daftar Pustaka
·      Bagir, Haidar. 2005.Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan
·      Fakhry, Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan
·      Muthahhari, Murtadha. 2002. Filsafat Hikmah:Pengantar Pemikiran Sadra. Bandung; Mizan. 
·      Shadra, Mulla.  2001. Kearifan Puncak (Hikmah al-Arsyiah).Yogyakarta: Pustaka Pelajar
·      Shadra, Mulla. 2005. Teosofi Islam: Manifestasi-Maifestasi Ilaihi. Bandung: Pustaka Hidayah
·      Sharif, M.M. 1966. A History of Muslim Philosophy, Wiesbaden : Otto Harrassowitz
·      Soleh, A. Khudhori.  2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
·      Takwin, Bagus. 2003. Filsafat Timur:Sebuah Pengantar ke Pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra



Tidak ada komentar:

Posting Komentar