Dalam kehidupan
bermasyarakat terdapat berbagai persoalan yang masih membingungkan dalam
mengambil suatu ketetapan hukum. Sebagaimana dalam kasus nikah hamil. Baik
wanita hamil karena ditinggal mati suaminya atau diceraikan maupun wanita yang
hamil karena perzinaan. Karena dalam Islam sendiri sudah sangat tegas
dijelaskan bahwa perbuatan zina jelas sekali dilarang. Lalu bagaimana dengan
nikah hamil tersebut, karena jika dilihat dari ujung-ujungnya perninaan hingga
menyebabkan kehamilan pada wanita tersebut dampaknya kepada anak yang
dikandungnya.
Perkawinan merupakan
satu diantara cara pengabsahan anak. Perkawinan itu bisa dilaksanakan setelah
kelahiran bayi yang dikandung perempuan yang akan dinikahkan dan bisa pula
sebelumnya. Perkawinan setelah kelahiran bayi terjadi karena perempuan yang
bersangkutan belum dinikahkan saat kehamilannya. Selanjutnya untuk pengesahan
anaknya dengan surat pengesahan. Fenomena ini terjadi pada sistem Hukum
Perdata. Perkawinan sebelum kelahiran bayi dilaksanakan ketika perempuan itu
dalam keadaan hamil. Maka perkawinan itu disebut dengan ”nikah hamil”, yakni
perkawinan yang dilaksanakan pada saat akad perkawinan mempelai perempuannya
itu dalam keadaan hamil karena perzinaan.
Berikut adalah hukum-hukum pernikahan Nikah Hamil bagi si wanita, laki-lakinya maupun anak yang dikandung serta dampaknya.
I. Wanita yang Hamil, dicerai/ ditinggal suaminya kemudian hendak menikah
dengan laki-laki lain.
Yang dimaksud dengan
kawin hamil disini ialah kawin dengan wanita yang hamil setelah dicerai /
ditinggal suaminya.
“Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.”(Al Baqarah:234)
Sedangkan laki-laki
yang menikah dengan seorang wanita yang sedang hamil, hukumnya:
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (ath-Thalaq:4)
Dengan demikian,
perempuan yang hamil tidak boleh menikah sebelum janin yang dikandungnya lahir.
Alasan keharaman nikah hamil itu demi menghormati sperma suaminya yang suci
karena telah menikah.
Pada ayat lain Allah
SWT menjelaskan,
“Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Baqarah:228)
Ayat tersebut menjelaskan
bahwa wanita yang sedang hamil hanya boleh dinikahi oleh laki-laki yang bukan
bekas suami yang menceraikannya setelah wanita tersebut melahirkan bayinya. Ini
karena wanita yang hamil itu masih menjadi hak suami yang menceraikannya.
Ayat diatas menurut Ibn
Mas’ud, turun setelah ayat tentang idah (masa tunggu) karena kematian suaminya
(Qs. Al-Baqarah [2]:234). Disisi lain, ibn Abbas dan Ali ibn Abi Thalib
memandang ayat tersebut (Qs. Al-Thalaq [20]:4 tidak terkait dengan idah
kematian. Dengan demikian, masa idah bagi wanita yang hamil diambil waktu yang
lebih lama. Diantara tujuan idah adalah untuk mengetahui keadaan rahim sebelum
menikah.
Atas dasar ini, al-Razi
berpendapat bahwa idah hamil itu sampai kelahiran bayi yang dikandung. Idah ini
berlaku dalam segala keadaan (fi jami’ al-ahwat). Artinya, idah hamil
tidak hanya berlaku bagi wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya, akan
tetapi perempuan hamil akibat perzinaan juga harus menjalani idah. Hanya saja
para ulama masih berbeda pendapat dalam hal perlu atau tidaknya idah bagi
pezina yang hamil.
Dan hukum menikah
dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil / tidak
sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Berkata Ibnu Katsir
dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad
nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para
‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”
II. Wanita yang Hamil karena Perzinaan
Yang dimaksud dengan
kawin hamil disini ialah kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, baik
dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang
menghamilinya.
Hukum kawin dengan
wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut:
a. Sah
Ulama mazhab yang empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah
dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu
yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
b. Sah dengan syarat
Ibnu Hazm (Zhahiriyah)
berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula
bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera
(cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang
telah pernah diterapkan oleh sahabat Nabi, antara lain:
Ketika Jabir bin
Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, beliau
berkata: “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki
sifat-sifatnya.”
Seorang laki-laki tua
menyatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya Amirul
Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar keduanya
dikawinkan. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk
melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.
Selanjutnya, mengenai
pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan
pendapat para ulama:
1. Tidak Sah
Imam Abu Yusuf
mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan
perkawinannya batal (fasid). Pendapat beliau berdasarkan firman Allah:
“Laki-laki yang berzina
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik;
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
beriman”.(An-Nur:3)
Maksud ayat tersebut
adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang
berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin
dengan pria yang berzina.
Menurut A-Thabathaba’i,
pelarangan nikah yang merujuk Qs. Al-Nur:3 bermuatan larangan yang harus
dihindari, meskipun pernyataannya berupa kalam khabar (kalimat berita).
Sebab ayat ini turun ketika sahabat Muhajirin meminta ijin (fatwa) tentang
keinginannya menikah dengan pelacur atau wanita tuna susila (WTS) di Madinah.
Alasan lainnya menurut al Syathibi, pernikahan dengan pezina itu akan
memutuskan hubungan keluarga. Kalangan ulama yang mengharamkan menikah dengan
pezina itu antara lain al-Dahlawi. Ketika menafsirkan ayat wa hurima dzalika
ala al-mu’minin, ia menyatakan bahwa pezina senangnya juga dengan pezina.
Dengan demikian haram laki-laki saleh menikah dengan perempuan yang berzina.
Begitu pula haram pezina laki-laki menikah dengan perempuan shalihah.
Ayat tersebut diatas
diperkuat oleh hadits Nabi:
“Sesungguhnya seorang
laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinya ia mendapatkannya
dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi
menceraikan keduanya dan wanita itu diberi mas kawin, kemudian wanita itu
didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.”
2. Boleh (Jaiz)
dengan syarat:
Ibnu Qudamah sependapat
dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini
wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan
dua syarat:
a.Wanita tersebut telah
melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
b.Wanita tersebut telah
menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
Hadits yang dijadikan
dasar oleh ulama yang membolehkan nikah hamil. Sabda Nabi itu adalah:
“Seorang laki-laki
datang kepada Rasul dan berkata: “Saya mempunyai seorang istri yang paling saya
cintai, namun ia tidak menolak tangan (laki-laki lain) yang menyentuhnya’.
Rasul menyahut: ‘Ceraikan saja’! kata laki-laki yang melapor: ‘Saya sabar
tentang hal itu’. Rasul menjawabnya: Bersenang-senanglah dengannya’ (H.R.
al-Nasa’i)”.
Dalam hadits tersebut
yang termasuk dhaif (lemah kualitasnya), hadits tersebut menerangkan
perempuan yang berzina setelah menikah (muhsan) berbeda dengan pezina
yang setelah menikah (ghairu muhsan). Sebab keberlangsungan nikah itu
bersifat kokoh (kuat) sejak awalnya. Sedangkan keharaman menikah dengan
perempuan pezina hanya mencegah pelaksanaan akad nikah. Sehingga jika istri
yang berzina tidak wajib diceraikan, maka zina itu seperti idah yang mencegah
akan nikah.
Artinya, perempuan
yang berzina itu seperti dalam keadaan idah, dalam arti tidak boleh
menikah sampai bertaubat dan dihukum hadd. Tentunya, bila perempuan zina
itu hamil, maka harus menunggu sampai melahirkan.
3. Sah tapi haram
bercampur
Imam Muhammad bin
Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram
baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini
berdasarkan hadits:
"Janganlah engkau
campuri wanita yang hamil, sehingga lahir (kandungannya)."
Hadist Nabi: La
yahillu li- imri-in yu’minu billaahi wal yaumil aakhiri an yasqiya maa-ahuu
zar’a ghoirihii.
ﻻ ﻴﺤﻞ ﻹﻤﺮﺉ ﻴﺆﻤﻦ ﺑﺎﻠﻠﻪ
ﻮﺍﻠﻴﻮﻢ ﺍﻷﺨﺭ ﺃﻦ ﻴﺴﻗﻲ ﻤﺎﺋﻪ ﺯﺮﻉ ﻏﻴﺭﻩ
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang percaya pada Allah dan hari akhir untuk
mengairi (dengan air mani) , tanaman (janin) orang lain”. H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
4. Sah dan Boleh di
campuri
Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak
terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu
boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang
dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan
keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak diluar nikah).
Para ulama berbeda
pendapat tentang apakah hamil yang dimaksudkan dalam surat ath-atahalaq ayat 4:
“.... Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya” tersebut juga mencakup pengertian
hamil karena perbuatan zina. Ini berarti wanita hamil dari perbuatan zina pun
tidak boleh dinikahkan dengan siapapun. Ada juga yang berpendapat bahwa wanita
hamil karena zina hanya boleh dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya.
III. HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
Beberapa pendapat ulama diatas tentunya berbeda dengan hukum perkawinan di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam, bab
VII, pasal 53, ayat 1 sampai 3:
(1). Seorang wanita yang
hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2). Perkawinan dengan
wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya.
(3). Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anaknya yang dikandung lahir.
Tujuan pendekatan
kompromistis ini, sebagaimana dikatakan Yahya Harahap, agar ketentuan Hukum
Islam lebih dekat dengan kesadaran hidup masyarakat. Sehingga sangat mutlak
diperlukan memadukan nilai Hukum Islam dan Hukum Adat. Sehingga
nilai-nilai normatif ditinjau dari segi filosofis dan sosiologis, rasa keadilan
dan kemanusiaan maupun modernisasi dan paham globalisasi sangat relevan untuk
membina keutuhan, keseimbangan, kerukunan, serta ketertiban kehidupan manusia
pada umumnya. Namun nilai ideal itu harus dikonfirmasikan dan dibuktikan dengan
tinjauan Yuridis dan tinjauan empirik – rasional.
Nikah hamil dalam
kompilasi Hukum Islam (KHI) itu bisa dipandang sebagai sarana pengabsahan anak
yang memiliki dasar yang kuat dalam sistem fiqih Indonesia. Anak yang lahir
diluar nikah disebut sebagai anak zina, anak haram, anak zadah maupun anak
alam. Semua itu dimaksudkan sebagai anak luar nikah tidak sah. Namun, karena
akibat yang menimpa si anak, maka sebagian pihak merekayasa supaya anak itu pun
dilegalkan dalam aturan hukum / fiqih Indonesia. Adapun tujuan utama dari
pengabsahan anak menurut mereka yang menyetujui atau membolehkan nikah hamil adalah
untuk memberikan perlindungan hukum bagi si anak akibat perzinaan
Implikasi hukum bagi
anak sah meliputi hubungan nasab, mahram dan hak waris. Sedangkan dalam
fenomena pengabsahan anak, semua ulama meniadakan hubungan nasab dan menolak
pemberian hak waris bagi anak zina yang disahkan. Sebab anak itu bukan anak sah
secara syar’i. Sedangkan dalam hubungan kemahramannya itu para ulama berbeda
pendapat . Karena secara genealogis, anak itu haram dinikahi oleh ayahnya.
Sedangkan anak zina tersebut hanya mempunyai hubungan nasab maupun perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya
Adapun anak dari hasil
hubungan zina, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan
dengan dua kemungkinan, yakni:
Bila anak tersebut
lahir 6 (enam) bulan lebih setelah perkawinan sah kedua orang tuanya,
maka nasab nya adalah kepada Suami yang telah mengawini ibunya itu.
Bila anak tersebut
lahir kurang 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka
nasab anak tersebut adalah kepada ibunya.
Hal ini bersesuaian
dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya Syekh Muhammad Zaid Al- Abyani
yang menyatakan bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari = 6
bulan. Para Ulama’ mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing
dari QS. Al- Ahqoof 15 dan QS. Al- Luqman ayat 14.
Menurut Surat Al-
Ahqoof ayat 15, waktu mengandung dan menyapih = 30 bulan
Menurut Surat Luqman
ayat 14, waktu menyapih itu = 24 bulan (2 tahun)
Jadi waktu hamil
minimal = 6 bulan/ 180 hari
Sesuai dengan
pernyataan tersebut, Imam Abu Hanifah menghitung jumlah 180 hari itu dari
pernikahan, bukan dari mulainya hubungan sekssual diantara kedua orang tua
biologisnya.
Maka jika
si anak lahir kurang dari 6 bulan, bila si anak terlahir perempuan,
jika ia nanti setelah dewasa hendak menikah, maka walinya bukan suami ibunya
namun Wali Hakim. Tentu saja anak tersebut secara syar’I tidak
mendapatkan hak waris sebagai anak yang sah dari suami ibunya itu bila nanti
suami ibunya meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, terkecuali bila
yang meninggal itu sebelumnya telah Iqror (membuat pernyataan) bahwa
anak tersebut diakui sebagai anaknya sebagaimana diterangkan oleh Badran
Abu Al-Ainain sebagai konsekwensi kebalikan pada kasus anak Li’an (suami
yang menuduh istrinya mengandung bukan dari dirinya).
V. Dampak adanya pernikahan dalam keadaan hamil
Dalam fenomena nikah
hamil, akan muncul nilai yang kontroversial. Pengabsahan anak yang itu
mengandung dua unsur yang kontra-produktif, yaitu nilai kebaikan (mashlahah)
dan keburukan (mafsadah).
a. Aspek Mashlahah /
kebaikan
- Anak bisa memperoleh perlindungan hukum secara pasti.
- Anak memiliki hak menuntut tanggungjawab ayahnya bila lalai; dan antara keduanya bisa saling mewarisi.
- Anak merasa setara dengan teman-temannya dan tidak merasa hina karena memiliki ayah.
- Beban psikologis ibu dan anak menjadi tereliminir. Perasaan bangga mendapatkan keturunan (anak) yang sebenarnya hanya diperoleh sebagai akibat pernikahan yang sah bisa dinikmati oleh pasangan suami istri melalui kawin hamil.
- Menutup aib keluarga, Ibunya merasa tidak hina sebagai orang kotor dilingkungan masysrakat karena anak yang dilahirkannya memiliki ayah, yang sekaligus sebagai suaminya.
b. Aspek Mafsadah /
keburukan
- Para remaja menjadi berpikiran pragmatis dalam pergaulan dengan lawan jenisnya. Pikiran tersebut mengarah kepada pergaulan bebas (free-sex). Dimana apabila terjadi kehamilan, nanti juga bisa melangsungkan perkawinan sehingga anaknya pun bisa menjadi anak sah dalam perkawinan tersebut.
- Anak luar nikah yang semula tidak dikehendaki keberadaannya secara geneologis, ia berasal dari orang tua yang tidak bisa mengendalikan nafsu sehingga berbuat dosa. Dengan kata lain gen yang menyebabkan sifat negatif dari orang tuanya akan menurun kepada anaknya. Seperti kata pepatah”Apa yang dimiliki seorang ayah juga dimiliki anaknya.
- Penilaian minor masyarakat yang dapat memicu tindakan brutal dan keonaran.
- Pengabsahan anak bisa merusak dan mengganggu keturunan keluarga dan kebersihannya. Karena diantara tujuan pengharaman nikah dengan pezina supaya nasab tidak campur dengan anak zina. Dengan pengabsahan anak, dalam keluarga terjadi pencampuran keturunan yang mesatinya anak itu bukan anggota keluarga atau bahkan mungkin anak orang lain sehingga keluarga itu telah dimasuki oleh orang yang semestinya bukan anggota keluarga, meskipun mungkin secara geneologis anak itu berasal dari laki-laki yang menjadi ayah akibat pengabsahan anak.
DAFTAR PUSTAKA:
Faridl, Miftah. 1999. 150
Masalah nikah dan Keluarga. Jakarta: Gema Insani
Rahman Ghozali,
Abdul.2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
Rahman, Musthofa.
2003. Anak Luar Nikah. Jakarta: Atmaja
http://tanbihun.com/fikih/kontroversi-hukum-pernikahan-dengan-wanita-hamil-zina/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar