Senin, 03 Desember 2012

Kontroversi Nikah Dalam Keadaan Hamil (Nikah Hamil)


Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai persoalan yang masih membingungkan dalam mengambil suatu ketetapan hukum. Sebagaimana dalam kasus nikah hamil. Baik wanita hamil karena ditinggal mati suaminya atau diceraikan maupun wanita yang hamil karena perzinaan. Karena dalam Islam sendiri sudah sangat tegas dijelaskan bahwa perbuatan zina jelas sekali dilarang. Lalu bagaimana dengan nikah hamil tersebut, karena jika dilihat dari ujung-ujungnya perninaan hingga menyebabkan kehamilan pada wanita tersebut dampaknya kepada anak yang dikandungnya.

Perkawinan merupakan satu diantara cara pengabsahan anak. Perkawinan itu bisa dilaksanakan setelah kelahiran bayi yang dikandung perempuan yang akan dinikahkan dan bisa pula sebelumnya. Perkawinan setelah kelahiran bayi terjadi karena perempuan yang bersangkutan belum dinikahkan saat kehamilannya. Selanjutnya untuk pengesahan anaknya dengan surat pengesahan. Fenomena ini terjadi pada sistem Hukum Perdata. Perkawinan sebelum kelahiran bayi dilaksanakan ketika perempuan itu dalam keadaan hamil. Maka perkawinan itu disebut dengan ”nikah hamil”, yakni perkawinan yang dilaksanakan pada saat akad perkawinan mempelai perempuannya itu dalam keadaan hamil karena perzinaan. 

Berikut adalah hukum-hukum pernikahan Nikah Hamil bagi si wanita, laki-lakinya maupun anak yang dikandung serta dampaknya.

I. Wanita yang Hamil, dicerai/ ditinggal suaminya kemudian hendak menikah dengan laki-laki lain. 

Yang dimaksud dengan kawin hamil disini ialah kawin dengan wanita yang hamil setelah dicerai / ditinggal suaminya.
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”(Al Baqarah:234)

Sedangkan laki-laki yang menikah dengan seorang wanita yang sedang hamil, hukumnya:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (ath-Thalaq:4)
Dengan demikian, perempuan yang hamil tidak boleh menikah sebelum janin yang dikandungnya lahir. Alasan keharaman nikah hamil itu demi menghormati sperma suaminya yang suci karena telah menikah.

Pada ayat lain Allah SWT menjelaskan,
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Baqarah:228)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita yang sedang hamil hanya boleh dinikahi oleh laki-laki yang bukan bekas suami yang menceraikannya setelah wanita tersebut melahirkan bayinya. Ini karena wanita yang hamil itu masih menjadi hak suami yang menceraikannya.

Ayat diatas menurut Ibn Mas’ud, turun setelah ayat tentang idah (masa tunggu) karena kematian suaminya (Qs. Al-Baqarah [2]:234). Disisi lain, ibn Abbas dan Ali ibn Abi Thalib memandang ayat tersebut (Qs. Al-Thalaq [20]:4 tidak terkait dengan idah kematian. Dengan demikian, masa idah bagi wanita yang hamil diambil waktu yang lebih lama. Diantara tujuan idah adalah untuk mengetahui keadaan rahim sebelum menikah.

Atas dasar ini, al-Razi berpendapat bahwa idah hamil itu sampai kelahiran bayi yang dikandung. Idah ini berlaku dalam segala keadaan (fi jami’ al-ahwat). Artinya, idah hamil tidak hanya berlaku bagi wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya, akan tetapi perempuan hamil akibat perzinaan juga harus menjalani idah. Hanya saja para ulama masih berbeda pendapat dalam hal perlu atau tidaknya idah bagi pezina yang hamil.  

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil / tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”

II. Wanita yang Hamil karena Perzinaan 

Yang dimaksud dengan kawin hamil disini ialah kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya.

Hukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut:
a. Sah
Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.

b. Sah dengan syarat
Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh  (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah pernah diterapkan oleh sahabat Nabi, antara lain:
Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, beliau berkata: “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.”
Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.

Selanjutnya, mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama:

1. Tidak Sah
Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya batal (fasid). Pendapat beliau berdasarkan firman Allah:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman”.(An-Nur:3)
Maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.

Menurut A-Thabathaba’i,  pelarangan nikah yang merujuk Qs. Al-Nur:3 bermuatan larangan yang harus dihindari, meskipun pernyataannya berupa kalam khabar (kalimat berita). Sebab ayat ini turun ketika sahabat Muhajirin meminta ijin (fatwa) tentang keinginannya menikah dengan pelacur atau wanita tuna susila (WTS) di Madinah. Alasan lainnya menurut al Syathibi, pernikahan dengan pezina itu akan memutuskan hubungan keluarga. Kalangan ulama yang mengharamkan menikah dengan pezina itu antara lain al-Dahlawi. Ketika menafsirkan ayat wa hurima dzalika ala al-mu’minin, ia menyatakan bahwa pezina senangnya juga dengan pezina. Dengan demikian haram laki-laki saleh menikah dengan perempuan yang berzina. Begitu pula haram pezina laki-laki menikah dengan perempuan shalihah.
Ayat tersebut diatas diperkuat oleh hadits Nabi:
“Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinya ia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita itu diberi mas kawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.”
 
2. Boleh (Jaiz)  dengan syarat:
Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat:
a.Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
b.Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak. 

Hadits yang dijadikan dasar oleh ulama yang membolehkan nikah hamil. Sabda Nabi itu adalah:
“Seorang laki-laki datang kepada Rasul dan berkata: “Saya mempunyai seorang istri yang paling saya cintai, namun ia tidak menolak tangan (laki-laki lain) yang menyentuhnya’. Rasul menyahut: ‘Ceraikan saja’! kata laki-laki yang melapor: ‘Saya sabar tentang hal itu’. Rasul menjawabnya: Bersenang-senanglah dengannya’ (H.R. al-Nasa’i)”.
Dalam hadits tersebut yang termasuk dhaif (lemah kualitasnya), hadits tersebut menerangkan perempuan yang berzina setelah menikah (muhsan) berbeda dengan pezina yang setelah menikah (ghairu muhsan). Sebab keberlangsungan nikah itu bersifat kokoh (kuat) sejak awalnya.  Sedangkan keharaman menikah dengan perempuan pezina hanya mencegah pelaksanaan akad nikah. Sehingga jika istri yang berzina tidak wajib diceraikan, maka zina itu seperti idah yang mencegah akan nikah.
Artinya, perempuan  yang berzina itu seperti dalam keadaan idah, dalam arti tidak boleh menikah sampai bertaubat dan dihukum hadd. Tentunya, bila perempuan zina itu hamil, maka harus menunggu sampai melahirkan.

3. Sah tapi haram bercampur
Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
 "Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir (kandungannya)."
Hadist Nabi:  La yahillu li- imri-in yu’minu billaahi wal yaumil aakhiri an yasqiya maa-ahuu zar’a ghoirihii.
ﻻ ﻴﺤﻞ ﻹﻤﺮﺉ ﻴﺆﻤﻦ ﺑﺎﻠﻠﻪ ﻮﺍﻠﻴﻮﻢ ﺍﻷﺨﺭ ﺃﻦ ﻴﺴﻗﻲ ﻤﺎﺋﻪ ﺯﺮﻉ ﻏﻴﺭﻩ          
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang percaya pada Allah dan hari akhir untuk mengairi (dengan   air mani) , tanaman (janin)  orang lain”. H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi. 

4. Sah dan Boleh di campuri

Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan  orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak diluar nikah).
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah hamil yang dimaksudkan dalam surat ath-atahalaq ayat 4: “.... Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” tersebut juga mencakup pengertian hamil karena perbuatan zina. Ini berarti wanita hamil dari perbuatan zina pun tidak boleh dinikahkan dengan siapapun. Ada juga yang berpendapat bahwa wanita hamil karena zina hanya boleh dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya. 

III. HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA 

Beberapa pendapat ulama diatas tentunya berbeda dengan hukum perkawinan di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam, bab VII, pasal 53, ayat 1 sampai 3: 
(1). Seorang wanita yang hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 
(2). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anaknya yang dikandung lahir.

Tujuan pendekatan kompromistis ini, sebagaimana dikatakan Yahya Harahap, agar ketentuan Hukum Islam lebih dekat dengan kesadaran hidup masyarakat. Sehingga sangat mutlak diperlukan memadukan nilai Hukum Islam dan Hukum Adat. Sehingga nilai-nilai normatif ditinjau dari segi filosofis dan sosiologis, rasa keadilan dan kemanusiaan maupun modernisasi dan paham globalisasi sangat relevan untuk membina keutuhan, keseimbangan, kerukunan, serta ketertiban kehidupan manusia pada umumnya. Namun nilai ideal itu harus dikonfirmasikan dan dibuktikan dengan tinjauan Yuridis dan tinjauan empirik – rasional. 

IV. Status Anak dari 'nikah hamil' karena perzinaan. 

Nikah hamil dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) itu bisa dipandang sebagai sarana pengabsahan anak yang memiliki dasar yang kuat dalam sistem fiqih Indonesia. Anak yang lahir diluar nikah disebut sebagai anak zina, anak haram, anak zadah maupun anak alam. Semua itu dimaksudkan sebagai anak luar nikah tidak sah. Namun, karena akibat yang menimpa si anak, maka sebagian pihak merekayasa supaya anak itu pun dilegalkan dalam aturan hukum / fiqih Indonesia. Adapun tujuan utama dari pengabsahan anak menurut mereka yang menyetujui atau membolehkan nikah hamil adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi si anak akibat perzinaan

Implikasi hukum bagi anak sah meliputi hubungan nasab, mahram dan hak waris. Sedangkan dalam fenomena pengabsahan anak, semua ulama meniadakan hubungan nasab dan menolak pemberian hak waris bagi anak zina yang disahkan. Sebab anak itu bukan anak sah secara syar’i. Sedangkan dalam hubungan kemahramannya itu para ulama berbeda pendapat . Karena secara genealogis, anak itu haram dinikahi oleh ayahnya. Sedangkan anak zina tersebut hanya mempunyai hubungan nasab maupun perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

Adapun anak dari hasil hubungan zina, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan dengan dua kemungkinan, yakni:  
Bila anak tersebut lahir 6 (enam) bulan lebih  setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada Suami yang telah mengawini  ibunya itu. 
Bila anak tersebut lahir kurang 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab anak tersebut adalah kepada ibunya.

Hal ini bersesuaian dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya Syekh Muhammad Zaid Al- Abyani  yang menyatakan bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari  = 6 bulan. Para Ulama’ mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing dari QS. Al- Ahqoof 15 dan QS. Al- Luqman ayat 14.  
Menurut Surat Al- Ahqoof ayat 15, waktu mengandung dan menyapih =  30 bulan
Menurut Surat Luqman ayat 14, waktu menyapih itu = 24 bulan (2 tahun)
Jadi waktu hamil minimal =  6 bulan/ 180 hari
 Sesuai dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Hanifah menghitung jumlah 180 hari itu dari pernikahan, bukan dari mulainya hubungan sekssual diantara kedua orang tua biologisnya.

Maka  jika si anak lahir kurang dari 6 bulan, bila si anak terlahir perempuan, jika ia nanti setelah dewasa hendak menikah, maka walinya bukan suami ibunya namun Wali Hakim. Tentu saja anak tersebut secara syar’I tidak mendapatkan hak waris sebagai anak yang sah dari suami ibunya itu bila nanti suami ibunya meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, terkecuali bila yang meninggal itu sebelumnya telah Iqror (membuat pernyataan) bahwa anak tersebut diakui sebagai anaknya sebagaimana diterangkan oleh  Badran Abu Al-Ainain sebagai konsekwensi kebalikan pada kasus anak Li’an (suami yang menuduh istrinya mengandung bukan dari dirinya). 

V. Dampak adanya pernikahan dalam keadaan hamil 

Dalam fenomena nikah hamil, akan muncul nilai yang kontroversial. Pengabsahan anak yang itu mengandung dua unsur yang kontra-produktif, yaitu nilai kebaikan (mashlahah) dan keburukan (mafsadah). 

a. Aspek Mashlahah / kebaikan
  • Anak bisa memperoleh perlindungan hukum secara pasti.
  • Anak memiliki hak menuntut tanggungjawab ayahnya bila lalai; dan antara keduanya bisa saling mewarisi. 
  • Anak merasa setara dengan teman-temannya dan tidak merasa hina karena memiliki ayah. 
  • Beban psikologis ibu dan anak menjadi tereliminir. Perasaan bangga mendapatkan keturunan (anak) yang sebenarnya hanya diperoleh sebagai akibat pernikahan yang sah bisa dinikmati oleh pasangan suami istri melalui kawin hamil. 
  • Menutup aib keluarga, Ibunya merasa tidak hina sebagai orang kotor dilingkungan masysrakat karena anak yang dilahirkannya memiliki ayah, yang sekaligus sebagai suaminya.

b. Aspek Mafsadah / keburukan
  • Para remaja menjadi berpikiran pragmatis dalam pergaulan dengan lawan jenisnya. Pikiran tersebut mengarah kepada pergaulan bebas (free-sex). Dimana apabila terjadi kehamilan, nanti juga bisa melangsungkan perkawinan sehingga anaknya pun bisa menjadi anak sah dalam perkawinan tersebut. 
  • Anak luar nikah yang semula tidak dikehendaki keberadaannya secara geneologis, ia berasal dari orang tua yang tidak bisa mengendalikan nafsu sehingga berbuat dosa. Dengan kata lain gen yang menyebabkan sifat negatif dari orang tuanya akan menurun kepada anaknya. Seperti kata pepatah”Apa yang dimiliki seorang ayah juga dimiliki anaknya. 
  • Penilaian minor masyarakat yang dapat memicu tindakan brutal dan keonaran. 
  • Pengabsahan anak bisa merusak dan mengganggu keturunan keluarga dan kebersihannya. Karena diantara tujuan pengharaman nikah dengan pezina supaya nasab tidak campur dengan anak zina. Dengan pengabsahan anak, dalam keluarga terjadi pencampuran keturunan yang mesatinya anak itu bukan anggota keluarga atau bahkan mungkin anak orang lain sehingga keluarga itu telah dimasuki oleh orang yang semestinya bukan anggota keluarga, meskipun mungkin secara geneologis anak itu berasal dari laki-laki yang menjadi ayah akibat pengabsahan anak.

DAFTAR PUSTAKA:

Faridl, Miftah. 1999. 150 Masalah nikah dan Keluarga. Jakarta: Gema Insani
Rahman Ghozali, Abdul.2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
Rahman,  Musthofa. 2003. Anak Luar Nikah. Jakarta: Atmaja
http://tanbihun.com/fikih/kontroversi-hukum-pernikahan-dengan-wanita-hamil-zina/
   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar