Kamis, 19 Januari 2012

Fenomena Selebritis Dakwah dan Ustadz Ngepop


   Televisi merupakan salah satu media penyiaran elektronik yang dapat ditangkap secara audio visual oleh khalayak. Fungsi televisi sebagai media informasi, edukasi, hiburan dan pembinaan kebudayaan direalisasikan dalam program-program acara seperti news, talkshow, reality show, film, sinetron, infotainment, religi, comedy, dsb,.  acara hiburan, seperti komedi. Fungsi televisi sebagai media hiburan menduduki posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain. Karena, televisi termasuk media massa yang murah, banyak pilihan dan berlangsung setiap hari selama 24 jam non stop. Hiburan yang disajikan bertujuan untuk menghibur audien melepaskan segala kepenatan dan stress seperti halnya menjadi sarana relaksasi.

Media massa televisi saat ini terjebak dalam mindstream latah yang berkembang dimasyarakat, namun sepertinya media televisi merasa lebih aman ketika menjual mindstream dari pada bersusah-susah melakukan uji coba terhadap acara-acara baru (Bungin, 2005: 174).

Ketika Indosiar sukses menayangkan Akademi Fantasi Indosiar (AFI), maka bermunculanlah acara pencarian bakat serupa di berbagai stasiun televisi lainnya. Juga ketika tayangan gosip cek & ricek dan Kabar kabari berhasil di RCTI, Stasiun televisi lainnya pun ikut-ikutan menayangkan gosip. Bahkan sampai ke acara religi Dakwah Islam. Sebagaimana munculnya program acara seperti kuliah Subuh  yang dimodifikasi dengan penampilan yang menarik atau kegiatan ceramah dengan audien yang disertai tanya jawab secara langsung. Ketika stasiun televisi Indosiar sukses menayangkan Mama Dedeh dan AA dalam Solusi Keluarga sakinah, maka stasiun televisi lainnya pun menyusul program acara yang serupa. Sebagaimana di MNC TV dengan ustadz Cepot, Trans TV dengan Islam Itu Indah bersama Ustad  Nur Maulana, SCTV dengan ustadz Solmet, ANTV, bahkan kontes Da’i muda pilihan pun ikut meramaikan program televisi yang bernuansa religi Islam.

Dengan banyaknya pilihan acara yang dapat di saksikan di televisi, maka Pemirsa di rumah pun bisa memilih sesuka hati tayangan yang diminati tanpa berpikir lebih panjang akan kualitas konten  tayangan tersebut ditelevisi  Khalayak dieksploitasi dan respons kesenangannya diburu lantaran perolehan komersial. Namun, kesenangannya ini tidak sepenuhnya bisa diprediksi.

Salah satu yang patut kita cermati televisi bisa menjadikan orang menjadi dikenal masyarakat luas sehingga menyebutnya sebagai artis. Semua artis  dapat dipoles oleh televisi menjadi berbagai bentuk tampilan. Bahkan ketika dikaitkan dengan fenomena dakwah saat ini, banyak ustadz dan da’i dadakan dari para selebritis yang karena tuntutan skenario merubah penampilan dan aktingnya layaknya seorang ustadz. Ketika musim ramadhan datang, para salebritis yang merubah penampilanya dan yang masuk dalam dunia dakwah pun tidak sedikit. Tetapi itu hanya sesaat. Ketika ramadhan sudah usai. Maka atribut-atributnya dilepas kembali. Menurut mereka itu tidak lebih dari sekedar keprofesionalitasannya sebagai seorang entertainr. Dengan demikian selebritis dakwah bisa dikatakan selebritis yang masuk ke dunia perdakwahan. Selain itu terdapat pemaknaan lain dimana kata “selebritis dakwah” tersebut juga diartikan sebagai Da’i yang masuk ke dunia Selebritis.

 Seiring dengan kemajuan Teknologi informasi dan Komunikasi, fenomena selebritis dakwah ini banyak muncul di televisi.  Para pengemban dakwah yang menyampaikan tausiyahnya di televisi jumlahnya semakin banyak dengan berbagai ciri khas dan gaya dakwahnya masing masing. Sebagaimana AA Gym dengan konsep Manajemen Kambunya, Ustadz Jefri Al Bukhori atau biasa dipanggil UJE dengan gayanya ustadz gaul ala anak muda, Ustadz Solmet dengan gaya “All you ready” dan masuk dunia persinetronan Indonesia, Ustadz Nur Maulana dengan gaya dakwahnya yang banyak disertai humor dan dengan kata-kata andalannya “Jamaah”, Ustadz Cepot yang bergaya bak wayang golek dan dengan dialek  betawinya, Mamah Dedeh dengan gayanya yang lugas dan tegas dengan sasaran jamaahnya ibu-ibu pengajian dan masih banyak lagi yang lainnya.  

Munculnya para da’i tersebut seolah membuat citra Islam berubah menjadi ramah dan lebih segar segar. Islam menjadi tidak identik dengan teror atau sekelompok orang yang marah-marah dan melakukan pengrusakan atas nama dakwah. Citra kolot dan ketinggalan zaman pun perlahan hilang ketika para dai juga mengikuti selera zaman dalam berdakwah, terutama dalam memanfaatkan kecanggihahan teknologi.

Para Da’i tersebut, merupakan beberapa tokoh dakwah yang sering tampil di televisi. Sehingga bisa juga dikatakan da’i “ngepop”. Maka potret dakwah Islam sekarang sudah jarang kita temui lagi para ustadz tua dengan sarung dan pecisnya. Da’i yang keliling kampung, masuk gang demi gang. Akan tetapi yang muncul saat ini Ustadz yang berpenampilan “necis’ dan gaul. Gaya bahasa yang ringan dan komunikatif. Dakwah disampaikan lewat media televisi yang bisa menyedot jutaan penonton di waktu yang singkat. Itu merupakan suatu kemajuan tersendiri dalam dunia dakwah.

Tetapi ternyata muncul fenomena baru dari da’i “ngepop “ tersebut. Karena sering muncul ditelevisi, maka da’i tersebut menjadi sorotan. Kisah kehidupannya pun banyak yang diberitakan dalam gosip infotainment, menjadi ikon iklan, ikut bermain peran dalam sebuah film, bahkan gaya hidupnya pun tak sedikit yang glamour bergaya bak selebritis. Yang hidup mewah, membeli rumah, jalan-jalan di Luar negeri, dsb. Mereka seolah terlena oleh kepopulerannya.

Contoh kasusnya yakni Ustadz Solmet yang saat ini sedang naik daun. Beliau mulai dikenal publik ketika menyampaikan tausiyah lewat televisi. Berbagai program acara di stasiun televisi pernah ia bawakan, kehidupan pribadinya juga ikut diberitakan dalam gossip selebritis. Sebagaimana ketika masih pacaran dengan April, Pernikahannya, Perceraiannya dengan Istri pertama, membelikan rumah dengan harga milyaran, jalan-jalan, dsb.

Ustadz solmet dan Ustadz-ustadz lainnya di televisi tersebut sudak layaknya seorang artis sehingga juga menjadat julukan selebritis dakwah. Ketenarannya ini cukup membuat antusias masyarakat ketika beliau hadir dalam suatu majlis ilmu. Masyarakat berbondong-bondong datang ketika salah satu Ustadz yang akan mengisi Pengajian itu adalah Ustadz yang sering tampil di televisi. Seolah –olah  mereka hanya memandang ketokohan da’i itu saja. Padahal dalam Islam diajarkan bahwa dalam menimba ilmu kita jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi apa yang disampaikan.  

Yang patut dikritisi selanjutnya yakni dari segi komersial. Saat ini Da’i juga merupakan sebuah profesi yang menghasilkan uang. Para da’i yang sudah terlanjur populer tidak sedikit diantaranya ketika show berdakwah tarifnya mencapai puluhan juta rupiah. Dakwah seolah diperdagangkan dengan menjual ayat Allah. Padahal prinsip dakwah yang sebenarnya adalah kesederhanaan dan tanpa pamrih.

Kemudian dari pihak Media televisi sendiri komersialitas dari sebuah acara di televisi saat ini sudah tidak diragukan lagi. Da’i yang tampil di televisi seolah hanya mengikuti dan memenuhi kebutuhan pasar. Ketika penampilannya cukup menarik audiens dan laris di pasar, maka rating program acara itu akan naik. Dengan begitu pihak manajemen program acara itu akan terus menampilkan hal yang serupa. Da’i dituntut menyesuaikan pasar agar rating program acara itu terus naik. Dengan demikian khalayak seperti dieksploitasi dan respons kesenangannya diburu lantaran perolehan komersial.

Padahal yang juga penting dalam dakwah itu adalah konten isinya (materi dakwah). Masyarakat senang ketika para ustadz gaya ceramahnya santai dan ringan, aksi panggungnya menarik, penampilannya meyakinkan. Akan tetapi kualitas kontennya ini yang esensi dari sebuah dakwah. Kalau dicermati dari materi dakwah yang disampaikan, sebenarnya bersifat sederhana. Meliputi kehidupan sehari-hari. Akan tetapi ternyata ada beberapa kesalahan yang luput dari perhatian.

Diantaranya adalah ketika ustadz tersebut mengutip sebuah ayat Al-Qur’an. Asbabun Nuzulnya itu kurang begitu utampilkan. Selain itu ketika beberapa ustadz itu menyampaikan sebuah hadits umumnya hanya disampaikan “Nabi SAW bersabda.............” tanpa disebutkan sanadnya maupun asbabul wurudnya. Bahkan terkadang hadits palsupun ada yang ikut tersampaikan. Materi dakwah yang disampaikan sumber yang utama yakni dari Al-Qur’an dan Hadits. Seharusnya ini bisa menjadi perhatian kita semua. Bahwa mengutip dalil itu tidak sembarangan. Harus diketahui asbabun nusulnya, nasikh mansukhnya, , asbabul wurudnya, perbedaan penafsiran dari beberapa Imam dsb. Selain itu juga harus menguasai Bahasa Arab dengan baik dan nahwu shorofnya. Oleh karena itu ustadz-ustadz atau da’i yang sudah populer itu seharusnya harus diimbangi pula dengan ilmu pengetahuan yang memadai. Agar dalam menyampaikan dakwah Islam tidak menyesatkan mad’unya.

Melihat fenomena da’i populer yang menjadi selebritis dakwah itu, hendaknya ada pihak yang ikut memantau da’i yang muncul di televisi. Sebagaimana dalam setiap program acara di televisi ada lembaga media watch dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertugas memantau dan mengawasi berjalannya setiap program acara dan yang berkaitan dengan penyiaran. Seharusnya program acara dakwahpun ada yang memantau walaupun tidak tertuang dalam Pedoman perilaku Siaran maupun Undang-undang penyiaran. Misalnya saja “Da’i TV Watch” yang di bawah naungan Majlis Ulama Indonesia (MUI) dengan pemantaunya memang mereka yang mempunyai kapasitas Ilmu Agama yang tinggi. Dengan demikian aktivitas dakwah di televisi juga terpantau dan terkontrol sehingga tidak menyalahi syariah dan sesuai dengan etika dakwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar